"Moso sih, Mbak Yu tak punya uang lebih. Kan Pak Prasetyo itu kepala divisi eksplorasi Lo, Mbak. Gajinya pasti  besar.  Wong suamiku yang hanya pegawai biasa, bisa memberi uang  lebih buat perawatan dan belanja-belanja cantik," ucap Jeng Kinanti saat da mengajak Retno untuk ikut arisan ibu-ibu dharma wanita.Â
Orang mungkin tak percaya dengan apa yang Retno katakan karena memang Prasetyo punya jabatan di kantornya. Jangankan membeli barang-barang mewah, untuk kebutuhan sehari-hari saja masih harus berhemat.
Hingga suatu hari Retno mendengar suara dering handphone. Rupanya tanpa sengaja hand phone Mas Prasetyo tertinggal. Retno membaca nama si pengirim, dari ibu mertuanya. Dia khawatir jika ada sesuatu yang terjadi Lalu Retno menerima telepon itu...Â
 "Assalamualaikum, Pras ibu sudah menerima transferan uang seratus juta buat beli material rumah Gendis. Nanti kalau ada kekurangan kamu harus nambahin lagi ya, Le." Suara ibu terdengar sebelum Retno berbicara. Mungkin dia mengira yang menerima telepon anaknya.
"Mas Pras memberikan uang seratus juta buat biaya membangun rumah adik bungsunya sementara anak dan isterinya disuruh menghemat." pikir Retno dalam hati.
"Kamu memang anak ibu yang baik, Pras. Kamu merenovasi rumah ibu dan Galang sekarang kamu membuatkan rumah untuk adikmu." Suara ibu terdengar lagi," Le ... Pras. Kamu kok diam saja."
Mungkin Ibu heran karena tak mendapat jawaban, akhirnya ...
"Ini aku, Retno, Bu," jawabku lirih," Telepon Mas Pras tertinggal."
"Kamu kok berani-beraninya menjawab telepon, Pras  Tidak sopan kamu," ucap Ibu mertua dengan nada tinggi kemudian mematikan handphonenya.
Serta merta ada sesuatu yang memenuhi ruang dada Retno hingga sesak dan sulit bernapas. Â "Suamiku sudah membohongiku selama ini. Kepercayaan dan kesetiaan yang selama ini telah aku pupuk dalam rumah tangga ini, telah dikhianati bukan karena wanita lain tetapi dengan ibu dan adik-adiknya," keluh Retno dalam hatinya.Â
"Suamiku memberikan sebagian besar penghasilannya buat keluarganya di Gunung Kidul tanpa memberitahu aku." Retno merintih dalam hatinya. Kalbunya tercabik-cabik, hancur.
"Mas, aku minta penjelasanmu,?" tanya Retno sesaat setelah suaminya selesai makan malam.