Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Cerpen Remaja "Air Mata Belantara" Episode 4

29 Oktober 2023   13:54 Diperbarui: 29 Oktober 2023   18:57 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dok. pribadi  by canva

Bulu kudukku berdiri saat menyusuri pemakaman yang terletak di pinggir belantara. Ada enam makam jumlahnya.
Pepohonan yang besar dan tinggi serta dahan- dahan bergoyang menghadirkan suasana  yang tidak nyaman.

"Permisi, Pak, Bu, Mbak, Mas, kami numpang lewat," ucapku seraya komat kamit membaca doa.

Tejo tersenyum melihat tingkahku," Tenang, Kin. Mereka tidak akan mengganggu kita. Paling mereka hanya akan memberikan senyum."
Tejo cekikikan mengikuti suara Kunti yang suka ada di film- film horor

"Jo, eling. Kamu tidak boleh begitu ah. Kata si Mbah kita tidak sembarangan bicara bila ada di pemakaman," ujarku mengingatkan.
Tejo hanya senyum- senyum mendengar aku ngomel.

"Pras, masih jauh letak desa yang tadi kita lihat?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

" Cahaya lampu itu tampak semakin terang. Mungkin tak lama lagi," jawab Pras sambil menatapku,"Kamu cape?"

Aku hanya tersenyum sambil terus berjalan. Hampir setengah jam kami berjalan.

"Lihat! Ada rumah di sana!" Tejo menunjuk ke sebuah rumah yang ada di ujung belantara. Pasti itu desa yang tadi kami lihat dari atas bukit.
Ternyata benar, tak jauh dari rumah itu ada beberapa rumah lagi yang terlihat.

Bias merah telah tampak dari ufuk timur. Beberapa perempuan terlihat menuju sendang yang tak jauh dari pemukiman itu.

"Permisi ..., di mana rumah kepala desa ya?" tanya Pras kepada perempuan itu .

Dia mengamati Pras seperti curiga.
"Kamu pegawai dari kamp itu?" tanya dia penuh selidik.

"Bukan, Bu. Ibu tahu ada kamp di dalam hutan?" Pras balik bertanya.

"Kami tersesat, Bu. Kami ditangkap dan disekap di gudang mereka. Nah, kami berhasil melarikan diri. Kami mau melaporkan hal itu ke kepala desa dan mau menghubungi poldes di sini." Aku menjelaskan agar kecurigaan perempuan itu lenyap.

"Apa? Kalian disekap? Tunggu, ayo ikut ibu." Perempuan itu menunjukkan sebuah rumah yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Pras agak ragu mengikutinya. Dia melihat ke arahku dan Tejo. Kami tidak tahu apa maksud perempuan itu.

"Kalian jangan takut! Justru saya akan menolong kalian," ujar perempuan itu saat melihat keraguan kami.

Akhirnya kami mengikutinya dan masuk ke sebuah rumah.
"Silakan duduk! Kalian pasti lelah. Aku siapkan teh hangat dulu, ya."
Perempuan itu masuk ke salah satu ruangan bagian belakang. Kami menunggu sejenak. Tak lama perempuan itu datang bersama seorang laki- laki separuh baya.

"Nah, ini sekadar teh manis hangat dan pisang goreng. Semoga bisa memulihkan tenaga kalian."
Tejo langsung menyomot pisang goreng sambil nyengir. Pras memukul bahunya

"Terima kasih, Teh. Kalau boleh tahu Teteh dan Bapak ini siapa dan kami sebenarnya berada di desa apa ya?" Aku bertanya dengan hati- hati.
"Saya, Aisyah. Ini paman saya, Pak Abdillah. Dia pernah menjabat jadi kepala desa sepuluh tahun lalu."
"Kalian bukan para penjarah itu, bukan?" Suara berat Pak Abdillah membuat kami terkejut.

"Tenang, Paman. Mereka ditangkap dan disekap di sana. Untung mereka bisa melarikan diri."

"Iya, betul Pak. Namun, dua teman kami masih ada di sekitar kamp itu. Kami tidak tahu mereka ada di mana sekarang atau mereka selamat keluar dari hutan itu atau tidak? Oleh karena itu kami akan minta bantuan ke kepala desa di sini." Pras menjelaskan dengan singkat .

"Kami yang akan membantu. Kalian tidak perlu minta bantuan kepala desa nanti malah kalian yang disalahkan." Paman Abdillah berbicara singkat tapi tegas.

"Kok, bisa?" tanya Tejo yang sedari tadi sibuk dengan pisang goreng dan teh manisnya.

Pak Abdillah tampak menghela napas panjang. Dia menatapi kami satu persatu.

"Biarkan mereka istirahat dulu, Paman. Kasihan. Mereka berjalan semalaman." Aisyah mempersilakan kami untuk istirahat di sebuah kamar. Walaupun sangat sederhana, cukuplah untuk istirahat dan tidur sejenak.

Banyak hal yang harus kami ketahui tentang desa ini. Aku merasa ada rahasia di desa ini.
Aku berbaring di atas kasur sementara Pras dan Tejo meringkuk di lantai beralas karpet tebal. Dalam sesaat aku sudah terlelap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun