Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Cerita Remaja "Air Mata Belantara" Bagian 3

24 Oktober 2023   14:40 Diperbarui: 25 Oktober 2023   23:39 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lembayung senja mulai menyinari gudang tempat kami disekap. Pras mulai melepaskan ikatan di kakinya. 

Sudah dua jam berlalu, tak ada lagi orang yang datang ke gudang ini. Artinya Pras aman untuk melancarkan aksi kabur kami.
Setelah semua  ikatan lepas, Pras mulai melepaskan ikatan yang membelenggu tangan dan kakiku. 

Pras sangat hati- hati melakukannya, mungkin dia tak mau aku merasakan sakit.

"Thank you, honey," ujarku sesaat setelah semua ikatan itu lepas.

"Apa? Ulangi coba ucapanmu tadi," goda Pras membuatku malu.

"Ikh... Ayo, kita cari jalan keluar," kataku sambil mendorong tubuhnya yang sangat dekat denganku.

Pras mulai mencari celah untuk melarikan diri. Ternyata ruangan itu sangat rapat. Tak ada jalan untuk melarikan diri.

"Hai...  lihat, Kin! Di langit- langit itu ada lubang yang bisa kita gunakan," ujarnya sambil menunjuk ke atas.

Aku melihat genteng yang terbuka, cukup untuk kami melarikan diri. Namun, atap itu terlalu tinggi untuk kami panjat.

"Hm... Bagaimana cara memanjatnya," gumamku sambil menghela napas panjang.

"Hai... ada stager di sini." Pras menunjuk tangga yang ada di sudut gudang.
Kami mencoba naik ke atap dengan stager itu. Aku disuruh untuk naik lebih dahulu sedangkan Pras memegang stager itu agar tak terguling. Untung saja aku pernah ikut latihan panjat tebing sehingga aku bisa  memanjat hingga atas genteng.

Aku melihat Pras menyusulku. Kami tiba di atap dengan selamat. Namun, belum berarti kami berhasil melarikan diri. Perjuangan kami masih sangat panjang untuk lepas dari cengkraman para pembalak liar itu.

Pelan- pelan kami mencari cara untuk turun dari genteng. Pras mengajakku untuk menggunakan jalan di samping gudang. Di sana ada tumpukan kayu besar yang bisa kami gunakan, tetapi harus sangat  hati- hati tentu saja. Jika tidak, kayu- kayu itu akan menggelinding ke bawah.

Pras mendahului untuk memberi jalan.Untungnya penerangan di sini sangat sedikit sehingga kami tak akan terlihat jika tak menimbulkan suara. Akhirnya kami tiba di tanah setelah setengah jam merayap. Pras mengendap- endap sambil memperhatikan ke segala arah. Aku mengekor tepat di belakangnya.

"Kita harus segera menyelesaikan semuanya sebelum polisi hutan datang menggerebek tempat ini!" 

Suara seseorang terdengar dari arah depan gubuk. Beberapa orang tampak sedang berkerumun di sana.
Kami segera bersembunyi di rerimbunan semak- semak tak jauh dari suara itu berasal. Kami mengamati kerumunan itu.

"Pras! Apakah kamu bisa melihat mereka?" tanyaku berbisik. Pras tampak menggelengkan kepala

"Suara itu sering aku dengar, tetapi aku lupa di.mana?" Aku berusaha keras mengingat pemilik suara itu.

"Ah... sudahlah. Sekarang kita harus pergi dari sini," ajak Pras menggandeng tanganku.

Belantara pada malam hari ini tentu saja sangat gelap. Apalagi kami tak memiliki senter untuk menunjukkan jalan. Pasti sangat beresiko akan terjerumus ke jurang atau mungkin juga akan bertemu dengan binatang liar

"Pras, aku takut jika ada ular yang akan menggigit," rajukku sambil memegang tangan Pras kuat.

"Tenang, Kin. Kita akan pelan- pelan mencari jalan.

Untungnya rembulan purnama malam ini. Cahayanya yang terang memberikan sinar ke arah hutan tempat kami berada.

Seraya membaca doa dan tetap waspada, kami menyusuri jalan setapak yang ada. Satu jam kami berjalan. Rasa lelah ini melanda, tetapi aku tak mau tertangkap lagi.

"Lihat! Ada kerlip lampu di depan sana, Kin. Tandanya ada desa dekat hutan ini," tunjuk Pras ke arah depan.

"Ayo, Pras! Kita ke sana. Siapa tahu ada yang bisa membantu kita," ujarku penuh semangat.

Kresek... Kresek ... Suara orang melangkah terdengar dari arah semak- semak. Pras pasang kuda- kuda untuk mengantisipasi mereka adalah orang- orang yang akan menangkap kami kembali.  Dia bersiap akan menyerbu dan menyerang orang yang ada di balik semak- semak.

"Siapa kamu? Keluar!"  teriak Pras seraya menyerangnya.

"Eit...eit! Tunggu... ini aku, Tejo" jawab orang itu. Tejo keluar dari balik semak sambil nyengir kuda.

"Tejo ...!" teriak kami bersamaan.

"Kamu masih di sini? Aku kira kamu sudah pergi jauh dan mencari bantuan," protesku.

"Mana aku berani sendirian berjalan di hutan lebat begini. Aku takut bertemu dengan para pembalak itu atau kalau tidak aku takut dimakan binatang buas," papar Tejo sambil tersenyum.

"Sudahlah! Ayo kita menuju desa itu pelan- pelan. Nanti kita rancang lagi apa yang akan dilakukan."

"Ngomong- ngomong Bimo dan Reina kemana ya?Apakah mereka juga bisa menyelamatkan diri" tanyaku dengan nada cemas.

"Nanti kita cari informasi tentang mereka saat di desa itu," jawab Pras.
Kami bertiga menyusuri jalan setapak dengan hati- hati. Sementara rembulan pelan- pelan bergulir dan kembali ke peraduannya. Suara ayam berkokok terdengar samar- samar dari kejauhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun