"Hai... ada stager di sini." Pras menunjuk tangga yang ada di sudut gudang.
Kami mencoba naik ke atap dengan stager itu. Aku disuruh untuk naik lebih dahulu sedangkan Pras memegang stager itu agar tak terguling. Untung saja aku pernah ikut latihan panjat tebing sehingga aku bisa  memanjat hingga atas genteng.
Aku melihat Pras menyusulku. Kami tiba di atap dengan selamat. Namun, belum berarti kami berhasil melarikan diri. Perjuangan kami masih sangat panjang untuk lepas dari cengkraman para pembalak liar itu.
Pelan- pelan kami mencari cara untuk turun dari genteng. Pras mengajakku untuk menggunakan jalan di samping gudang. Di sana ada tumpukan kayu besar yang bisa kami gunakan, tetapi harus sangat  hati- hati tentu saja. Jika tidak, kayu- kayu itu akan menggelinding ke bawah.
Pras mendahului untuk memberi jalan.Untungnya penerangan di sini sangat sedikit sehingga kami tak akan terlihat jika tak menimbulkan suara. Akhirnya kami tiba di tanah setelah setengah jam merayap. Pras mengendap- endap sambil memperhatikan ke segala arah. Aku mengekor tepat di belakangnya.
"Kita harus segera menyelesaikan semuanya sebelum polisi hutan datang menggerebek tempat ini!"Â
Suara seseorang terdengar dari arah depan gubuk. Beberapa orang tampak sedang berkerumun di sana.
Kami segera bersembunyi di rerimbunan semak- semak tak jauh dari suara itu berasal. Kami mengamati kerumunan itu.
"Pras! Apakah kamu bisa melihat mereka?" tanyaku berbisik. Pras tampak menggelengkan kepala
"Suara itu sering aku dengar, tetapi aku lupa di.mana?" Aku berusaha keras mengingat pemilik suara itu.
"Ah... sudahlah. Sekarang kita harus pergi dari sini," ajak Pras menggandeng tanganku.
Belantara pada malam hari ini tentu saja sangat gelap. Apalagi kami tak memiliki senter untuk menunjukkan jalan. Pasti sangat beresiko akan terjerumus ke jurang atau mungkin juga akan bertemu dengan binatang liar
"Pras, aku takut jika ada ular yang akan menggigit," rajukku sambil memegang tangan Pras kuat.