Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen Pamali

20 Juli 2023   22:52 Diperbarui: 20 Juli 2023   23:16 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pribadi by Canva

Suara sirene ambulans memasuki RS. Medika. Beberapa perawat berlarian seraya membawa brankar. Mereka mengangkat tubuh Sekar yang dipenuhi selang. Di hidungnya terdapat selang oksigen yang membantu pernafasannya. Di tangan kanannya terdapat selang infus.

Aku dan Zidan turun dari dalam ambulans. Wajah Zidan tampak sembab karena menangis sementara aku mendekap tubuh gadis itu agar tenang.

"Vira, bagaimana keadaan Sekar?" ujar si gadis sambil terus terisak-isak.

Baca juga: Cerpen "Pulang"

"Sabar ya Zidan. Kita doakan Sekar selamat dan dapat tertolong," hibur aku sambil membelai rambut Zidan.

Tak lama kemudian Hamdan, Bayu dan Dika datang dan mendekati mereka. Terlihat jelas wajah mereka yang menggambarkan kecemasan yang tak terhingga.

"Bagaimana keadaan Sekar, Vir?" tanya Bayu. Dia segera mengiringi brankar yang mulai bergerak menuju IGD.

"Semoga Sekar segera tertolong. Kita berdoa saja ya," jawab aku tegar. Mereka berjalan mengikuti brankar yang mulai memasuki lorong rumah sakit menuju ruang IGD.

Beberapa perawat menanyakan anggota keluarga pasien. Mereka ingin menanyakan  tentang apa yang terjadi pada gadis yang tengah pingsan itu. Namun, keluarga Sekar berada di Cirebon. Kami berada di kota ini karena sedang touring motor untuk mengisi liburan kami.

Baca juga: Cerpen

Tak lama kemudian seorang laki-laki muda berjas putih memeriksa keadaan Sekar yang masih pingsan itu. Pasti dokter yang sedang bertugas di IGD. Biasanya mereka bukan dokter spesialis namun dokter umum. Aku mencuri dengar dari balik ruang IGD.

"Apa yang terjadi dengan pasien ini?" tanya dokter kepada perawatnya.

"Menurut teman- temannya,  gadis ini terpental ke jalan saat mengendarai motor, Dok. Kepalanya terbentur aspal dan banyak mengeluarkan darah," jelas suster itu.

"Sudah berapa lama dia pingsan?" kembali dokter itu bertanya.

"Satengah jam yang lalu menurut keterangan mereka," papar Suster lagi.

Kemudian dokter itu meminta keluarga Sekar untuk menemuinya. Aku mengatakan jika keluarga Sekar berada di luar kota. Sebagai anak rantau, Sekar hanya dekat dengan kami, sahabat-sahabatnya. Akhirnya Suster itu mengajakku untuk menemui dokter.

"Begini Dik, kami akan melakukan tindakan selanjutnya. Cedera pasien tidak terlihat dan harus melakukan CTScan. Tindakan itu untuk mengetahui cedera yang dialami pasien ringan, sedang atau berat. Kami khawatir ada luka dalam bagian otak yang tentunya akan membahayakan jiwa apalagi temanmu mengeluarkan darah saat terjatuh dan langsung pingsan," jelas dokter panjang lebar.

"Lakukan yang terbaik untuk teman saya, Dok. Saya mohon selamatkan dia. Saya sedang menghubungi orang tua Sekar. Kini mereka sedang dalam perjalanan dari Cirebon," pintaku memberanikan diri.

Setelah itu, aku kembali ke tempat teman- teman berada.

"Ini gara- gara Sekar tidak mau mendengarkan nasihatku," ujar Bayu sambil menatapku.

"Maksudmu ...?" tanyaku sambil memandang Bayu tak mengerti.

"Kita tadi berada di kebun teh, kan. Nah ... aku melihat Sekar sedang berfoto ria bertiga bareng Zidan dan Dika. Aku sudah larang mereka berfoto bertiga karena pamali." Bayu menjelaskan dengan memandangku serius.

"Maksudmu ...? Aku tidak paham?" Aku memandang Bayu seraya menuntut penjelasan.

"Vira. Orang tua kita zaman dulu melarang bila kita berfoto dengan jumlah ganjil termasuk bertiga. Tadi mereka foto bertiga dan Sekar ada di tengah. Katanya orang yang di tengah itu akan meninggal ..." Bayu menjelaskan sambil hati - hati.

"Hush ... itu semua takhayul, mitos," ujar Hamdan sambil sedikit teriak," Ini takdir Allah Swt. Yang penting kita doakan agar Sekar diselamatkan."

Di antara kami, Hamdan memang paling mengerti tentang agama. Dia yang selalu mengingatkan kami jika sudah mulai menyimpang.

Aku terdiam. Aku mencerna apa yang disampaikan oleh Bayu tadi. Benarkah hal itu akan terjadi? Aku teringat dengan mimpi yang kualami selama tiga hari berturut- turut. Aku bermimpi kepalaku kejatuhan cicak. Dan anehnya mimpi itu berulang selama tiga hari berturut- turut. Aku ingat mimpi itu terjadi tiga hari sebelum keberangkatan kami ke Sukabumi. Konon kabarnya aka nada kabar duka dari orang- orang terdekat kita. Dan Sekar sangat dekat dengan dirinya. Kami seperti dua bersaudara yang tak terpisahkan.

Aku tidak percaya dengan mitos itu. Aku juga tidak menceritakan mimpi itu kepada sahabat- sahabatku. Namun, dengan kejadian yang terjadi pada kami, mau tidak mau aku terpengaruh juga. Seandainya saja aku sedikit percaya, mungkin perjalanan kami touring motor ke Sukabumi dibatalkan. Dan kecelakaan yang menimpa Sekar tak akan terjadi.

"Maafkan aku, Sekar," ucapku dalam hati. Tanpa terasa air mata menetes di kedua pipiku. Betapa tipis perbedaan antara takdir dan takhayul seperti sekarang ini. Betapa lemah imanku jika aku tak mempercayai takdir yang telah Allah Swt berikan sekarang ini. Namun, semua ini serba kebetulan.

"Kita berdoa untuk Sekar, teman- teman. Ayo kita salat!" ajak Hamdan pelan. Suasana saat itu sangat hening. Kami berada dalam pikiran masing- masing.

"Hamdan benar. Ayo kita ke masjid. Kita doakan Sekar," ujarku sambil bangkit dan berjalan dengan gontai menuju masjid rumah sakit. Teman- teman yang lain mengikuti dari belakang.

"Keluarga Sekar, pasien IGD diminta datang ke ruang IGD!" Suara panggilan terdengar dari speaker yang tergantung di sudut-sudut rumah sakit. Saat itu kami sudah selesai salat dan sedang mengaji demi keselamatan Sekar.

"Teman- teman, ada panggilan!" ujarku seraya bangkit dan bergegas menuju ruang IGD. Kami berjalan setengah berlari karena panggilan itu terus berulang- ulang.

"Ada apa, Suster?" tanyaku setengah berteriak sesaat setelah tiba di ruang IGD.Ada seorang dokter yang menemani suster tersebut.

"Kalian teman- teman pasien Sekar?" tanya dokter itu.

"Ya, Dokter. Orang tua sekar belum dating. Mereka masih dalam perjalanan," ujarku dengan cemas," Ada apa, Dok?"

"Pasien banyak mengeluarkan darah akibat benturan yang sangat keras di kepalanya. Kami sudah berusaha semampu kami. Maaf, teman kalian tidak dapat tertolong," ujar Dokter menjelaskan dengan sangat hati -- hati.

"Maksud Dokter Sekar sudah tiada?" tanyaku meyakinkan diri. Dokter hanya menganggukan kepala sambil memegang bahuku. Aku mendengar teriakan Zidan, dan tangisan teman- teman yang lain. Sementara aku diam. Bibirku kelu tak tahu harus berkata apa-apa lagi. Bagaimana menyampaikan hal ini kepada keluarga Sekar nanti. Tiba- tiba kepalaku berkunang- kunag. Pandanganku kabur dan tubuhku limbung lalu jatuh, tak inga tapa- apa lagi.

Cibadak 20 Juli 2023

Cerpen karya Nina Sulistiati. Seorang guru Bahasa Indonesia yang gemar belajar menulis. Ig. nlistia  , tiktok nina sulistiati fb : https://www.facebook.com/ninasutitiati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun