"Begini, Bu. Nangka tadi besar dan sangat berat. Aku tidak bisa mengangkatnya. Nah, aku punya akal agar nangka itu bisa terbawa. Aku hanyutkan ke parit. Kan pasti akan lewat sini nangka itu," papar Badrun sambil menunjuk air parit yang mengalir deras.
"Badrun ... Badrun! Sampai kapan pun kamu tunggu nangka itu lewat sini ya tak akan datang. Saluran parit itu tidak nyambung ke parit depan rumah kita," geram Ibu Badrun sambil memegang jidatnya," Sekarang kamu cari nangka itu sampai dapat!"
***
Beberapa hari kemudianIbu Badrun pun memanggil anaknya. Rupanya ibu meminta Badrun untuk membeli bahan untuk membuat kolak. Ibu mencatat apa saja yang harus dibeli agar tak salah.
"Nih, ibu sudah catatkan bahan untuk membuat kolak biji salak. Beli tepung tapioka, gula merah dan santan kental. Jangan salah ya. Ini uangnya," Ibu menyerahkan uang dan catatan kepada anaknya.
"Siap, Ibu. Laksanakan!" jawab Badrun bergaya tentara. Ibu Badrun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Saat menuju jalan ke warung, Badrun ingat jika ibu akan membuat kolak biji salak. Dia pun membaca catatan belanjaan yang diberikan ibunya. Ternyata tak ada catatan biji salak.
"Wah ... pasti ibu lupa menuliskan biji salaknya>" senandika Badrun.
Akhirnya sepulang dari warung, Badrun mampir ke rumah Pak Lik Condro, tetangganya yang suka membuat manisan.
"Lik, punya biji salak tidak?" tanya Badrun kepada Lik Condro.
"Biji salak buat apa, Drun?" tanya Lik Condro pendek sambil menunjuk biji-biji salak yang disimpan di dalam plastik.