Saat Vania tiba, Ayah sedang dibaringkan di amben yang ada di bagian dalam warung.
"Ayah! Bangun! Ini Vania, Yah," panggil Vania sambil mengguncang-guncang tubuh Ayah. Namun Ayah tetap diam dan tak bergerak.
"Neng Vania, kita bawa Bapak ke Rumah Sakit Bahagia saja," ujar Pak Diman, pemilik warung kelontong di depan.
"Ayo, Bapak yang antar. Kebetulan warung Bapak ada yang menunggu." Pak Handi pemilik toko pakaian di ujung lorong menawarkan diri.
Akhirnya Vania dan beberapa orang pedagang membawa Ayah ke rumah sakit. Vania tak tahu apa yang terjadi dengan Ayahnya. Dia tidak mau ditinggalkan oleh Ayah di usianya yang baru 18 tahun.
"Mbak! Apakah Mbak keluarga Pak Haryadi?" Pertanyaan seorang suster membuyarkan lamunan Vania.
"Iya, Suster. Saya anaknya. Bagaimana dengan kondisi Ayah saya?" tanya Vania dengan nada cemas.
"Dokter mau berbicara dengan keluarga pasien," ujar Suster," Mari ikut saya."
Vania mengikuti suster menuju ruang dokter. Selintas Vania melihat nama Dokter Ardian terpampang di pintu.
Sementara itu di ruang dokter, Dokter Ardian dan Suster Anita sedang berbicara.
Dokter Ardian memandang rekam medik yang diberikan oleh Suster Anita. Rekam medik ini milik seorang pasien yang baru saja datang pagi ini.