Rania pun menceritakan hal yang sama. Suasana rumah yang sepi dan tak nyaman, membuat adiknya memilih sekolah SMA berasrama. Rania hanya sesekali pulang ke rumah jika liburan untuk menengok mbok Nah dan Mang Ujang yang merawat rumah mereka.
Biasanya Bunda selalu menjadi pendengar yang terbaik untuk Andina dan adiknya. Selama Andina berada di Amerika, dia masih sering bercakap-cakap dengan Bunda. Tak sedikit pun Bunda menceritakan masalah-masalahnya kepada Andina. Mungkin Bunda tidak mau kuliahnya terganggu. Pertanda kasih sayang Bunda sangat besar meskipun dirinya terkena masalah.
Andina tahu kasih sayang yang Bunda berikan kepada Andina dan Rania tak akan pernah terbalaskan oleh apa pun. Rasa cinta dan kasih sayang yang sangat besar itu pun Bunda berikan untuk Ayah. Bunda sangat setia menemani dan membantu Ayah baik di rumah atau saat Ayah mengalami kesulitan dalam usahanya. Jadi Andina paham jika Bunda sangat terpukul dan sangat kecewa saat Ayahnya menikah tanpa izin darinya.
"Sudah lima jam operasi berlangsung, kok belum ada tanda-tanda selesai ya, Nia," ujar Andina kepada Rania yang duduk di samping. Dia melihat waktu sudah menunjukkan angka lima. Untung mereka sudah menjamak salat tadi.
"Sabar, Mbak sayang. Semoga operasinya berlancar dan Bunda dapat pulih nanti," hibur Rania sambil menepuk bahu Andina.
Mbok Nah tampak tak berhenti berkomat-kamit. Dia pasti mendoakan Bunda.
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri seolah mencari seseorang. Andina dan Rania segera berdiri.
"Dokter, bagaimana operasi ibu saya?" tanya Andina tak menunggu lagi.
"Oh ... Anda keluarga Bu Vania?" Sang dokter balik bertanya. Andina menganggukan kepalanya.
"Alhamdulillah ... operasi sudah selesai. Semoga operasi berhasil dan tidak ada dampak baru bagi Bu Vania," papar dokter.
"Maksudnya ...?" Andina bertanya mengerti.