Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepenggal Kisah Wanodya 4 : Duniamu Tak Lagi Sunyi

19 November 2022   10:17 Diperbarui: 24 November 2022   21:50 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: orami.co.id

Dibalik kekurangan yang Allah berikan, akan ada kebaikan yang akan diterima dalam hidup maka berjuanglah untuk meraih beribu kebaikan yang diberikan-Nya_ Bunda Listi

Listi memandang Kasih yang sedang mengikuti ujian tahfiz Al Qur'an jus 30 dari balik jendela kelas. Suara Kasih yang melantunkan ayat-ayat Allah sangat merdu dan menyentuh kalbu. Kasih sangat lancar membaca ayat-ayat Al quran itu.

Diam-diam bulir-bulir air mata menitik di kedua kelopak matanya. Perjuangan dan pengorbanannya selama ini membuahkan hasil. Air mata dan luka karena perlakuan yang tak adil dari lingkungannya telah memecutnya dan menambahkan semangat untuk menjadikan Kasih anak yang berguna.

Ingatannya kembali melayang saat dokter mendiagnosa Kasih spech delay karena ada masalah di pendengaran. Saat itu usia Kasih dua tahun. Dia merasa ada yang aneh dengan tumbuh kembang anak bungsunya itu. Berbeda dengan Juna anak sulungnya. Saat dua tahun, Juna sangat cerewet bahkan mampu mengikuti lagu-lagu berbahasa Inggris yang dinyanyikan kelompok Gun N Roses. Sementara Kasih hanya mampu mengungkapkan beberapa kata saja.

Seharusnya anak seusia Kasih mampu berbicara 50 kata dengan teratur. Namun, Kasih hanya mampu mengucapkan sepuluh kata saja itu pun tak jelas. Kasih hanya menangis jika menginginkan sesuatu. Listi merasa cemas dengan tumbuh kembang putrinya.

"Jangan terlalu cemas berlebihan. Mungkin saja Kasih belum bisa berbicara karena dia berjalan dulu," ujar suaminya saat Listi menyatakan kekhawatirannya saat itu.

"Tapi, Pa, anak seusia kasih itu seharusnya bisa mengucapkan sekurang-kurangnya lima puluh kata. Mama takut ada masalah dalam kemampuan berbicaranya," ujar Listi saat itu.

"Sudahlah, Ma. Kita lihat saja dulu perkembangan Kasih sambil kita mengajarinya berbicara," ujar suaminya sambil meninggalkan Listi.

Listi melihat respon suaminya yang tidak menghiraukan kecemasannya. Hingga suatu hari, tubuh Kasih demam. Mereka membawanya ke dokter Hasan, seorang dokter anak langganan mereka. Listi mengajak suaminya ikut masuk ke ruangan dokter. Pada saat itulah Listi menyatakan kekhawatirannya pada dokter Hasan dan berkonsultasi tentang keterlambatan bicara Kasih.

"Sebenarnya kasus  speech delay itu disebabkan beberapa faktor. Ada yang karena organ bicaranya terganggu atau pun juga karena masalah pendengaran yang diderita anak. Untuk meyakinkan hal tersebut silakan Kasih diperiksakan di klinik tumbuh kembang anak. Nanti Bapak dan ibu dapat mengetahui penyebab Kasih terlambat berbicara," jelas Dokter Hasan panjang lebar. Aku bersyukur dokter menjelaskan itu kepada mereka sehingga suaminya dapat terbuka.

Akhirnya mereka memeriksakan Kasih ke klinik tumbuh kembang anak di RS. Hermina. Beberapa rangkaian tes dan observasi dilakukan oleh dua orang dokter, yaitu dokter anak dan dokter rekam medik.

Listi menemani Kasih saat itu. Kasih dipanggil dokter Alin, tetapi Kasih tidak merespon. Kemudian Kasih diajak bermain balok dan dokter memerintahkan untuk menumpuk balok dengan memberikan contoh, dan Kasih berhasil menumpuk balok-balok itu. Setelah itu dokter Alin memainkan tamborin, tetapi Kasih tak merespon suara itu.

Akhirnya kedua dokter itu menyarankan mereka untuk berkonsultasi dengan dokter THT karena diagnosa awal Kasih mengalami gangguan pendengaran.

Benar saja diagnosa dari dokter Alin. Setelah tes OAE, Kasih dinyatakan deaf dan dirujuk ke Hearing Center Bandung untuk melakukan tes Bera. Tes ini untuk menunjukkan ambang dengar Kasih yang lebih objektif dan valid.

Mereka sangat terkejut dengan hasil pemeriksaan itu. Listi tak habis mengerti mengapa putri kecilnya itu harus memiliki nasib seperti itu. Listi memandang suaminya yang diam, pastinya sangat terpukul.

"Apa penyebabnya, Dok?" tanya Listi lirih. Dia memandang dokter dengan cemas.

"Penyebab seseorang deaf itu bermacam-macam, antara lain: faktor genetika/keturunan, ibu terkena virus rubella, toksoplasma, salah meminum obat, dan karena pernah terbentur. Pada kasus Kasih, dia mengalami deaf karena organ telinga bagian dalam tidak berfungsi," papar dokter.

"Apakah bisa disembuhkan, Dok?" tanya Listi lagi. Dia memeluk Kasih lebih erat.

"Pada kasus Kasih secara medis tidak dapat disembuhkan karena faktor bawaan sejak lahir," jawab dokter pelan.

Listi tertunduk lemas saat itu. Dia tak dapat membayangkan bagaimana masa depan Kasih nanti.

"Ibu dan Bapak jangan cemas. Banyak anak-anak yang memiliki kasus seperti ini dapat menjadi anak yang sukses asalkan kita dapat menangani dan membimbingnya dengan cara yang tepat." Dokter membesarkan hati mereka.  Listi memandang suaminya. Sejak tadi dia tak berbicara. Pasti suaminya merasakan hal yang sama. Kecewa, kesal, sedih, takut bercampur menjadi satu.

Mereka membawa Kasih untuk melakukan tes Bera. Dalam perjalanan Listi berdoa agar Allah Swt memberikan keajaiban dan menunjukkan hasil tes Bera dengan hasil baik.

Namun, Allah Swt menggariskan hidup setiap manusia dengan cerita dan jalannya sendiri. Hasil tes Bera menunjukkan Kasih hanya memiliki ambang dengar 80db. Termasuk ke dalam kategori berat sehingga Kasih membutuhkan alat bantu dengar dan terapi wicara untuk melatih pendengaran dan berbicara.

Di saat awal pemakaian alat bantu dengar, Kasih kerap menangis karena merasa tak nyaman. Namun, lama kelamaan Kasih mencari alatnya karena dia sudah membutuhkan alat tersebut. Kasih bisa membedakan kondisi saat dia tidak menggunakan alat dan menggunakannya. Ada suara yang dapat dia dengar dengan jelas meskipun konsep masih belum dipahami.

Sejak saat itu, Listi mengantarkan Kasih 'sekolah' ke klinik tumbuh kembang anak. Saat pertama masuk ruang terapi, Kasih menangis histeris. Dia tidak mau ditinggalkan mamanya. Namun, terapis meminta Listi untuk keluar agar melatih kemandirian Kasih. Lambat laun Kasih terbiasa dengan kondisinya. Untunglah terapis yang menangani Kasih sangat penyabar dan penuh akal untuk menanganinya.

Diam-diam Listi mengintip Kasih yang sedang belajar. Listi melihat metode dan alat yang digunakan untuk melatih berbicara Kasih. Sejak Kasih mengikuti terapi, Listi pun membuat berbagai media belajar untuk Kasih. Listi memanfaatkan setiap menit yang ada untuk mengajak Kasih bermain dan belajar.

Perkembangan berbicara Kasih berkembang pesat. Berbagai konsep sudah dikuasai karena Listi selalu melatih Kasih di rumah. Mbak Anti, terapisnya, sangat kagum pada perkembangan Kasih. Dia juga memuji Listi karena mampu menyinergikan terapi dengan latihan di rumah.

Listi bertekad untuk membimbing Kasih seperti anak normal lainnya. Seluruh keluarga dilibatkan untuk mengajak Kasih berkomunikasi dengan normal. Mereka harus berbicara dengan suara yang biasa. Saat usia Kasih lima tahun, Listi menyekolahkan ke sekolah reguler dengan harapan komunikasi dan interaksi putrinya lebih banyak.

"Ma, aku diejek bolot oleh teman-teman," ujar Kasih saat dia pulang sekolah. Saat itu dia duduk di kelas 2 SDIT," Bolot itu apa sih, Ma?"

Listi terdiam saat mendengar pertanyaan itu. Hatinya hancur dan tak tahu harus menjawab apa.

"Siapa yang berkata begitu?" Tiba-tiba suaminya muncul dengan nada tinggi," Biar Papa tegur anak itu?"

Listi memberikan isyarat kepada suaminya untuk tenang. Dia tahu suaminya marah saat Kasih diejek seperti itu, tetapi sebagai orang tua harus bijaksana. Biarlah Kasih menerima itu sebagai pembelajaran hidup dan mengajarkan dia untuk tegar.

"Biarkan teman-temanmu mengejek seperti itu. Bolot itu kurang mendengar, sayang. Faktanya memang begitu dan kamu harus menerima dengan ikhlas." Panjang lebar Listi memberikan pengertian kepada putrinya.

"Karena aku menggunakan alat bantu dengar ya, Ma?" tanya Kasih lagi.

"Ya Allah, berikan ketegaran kepadaku dan putriku dalam menghadapi setiap iradahMu," pinta Listi dalam hati.

Hati orang tua mana yang tak sedih saat putrinya menerima perlakuan yang tidak menyenangkan, tetapi Listi berpikir jika putrinya harus belajar tabah dan kuat saat menghadapi itu semua.

Alhamdulillah, Listi melihat Kasih mulai menerima kondisinya. Listi selalu memperlakukan Kasih seperti anak normal lainnya. 

Sejak TK hingga SMP, Listi menyekolahkan Kasih di sekolah reguler. Pernah Listi ditolak oleh salah satu sekolah TK dengan alasan tidak ada guru yang mampu menangani ABK. Hatinya sedih dan kecewa karena Kasih hanya memiliki masalah di pendengarannya sedangkan kognitif dan motoriknya normal. Alhamdulilah ada seorang temannya yang menyuruhnya datang ke TKIT tempat dia bekerja. 

Listi membimbing putrinya dengan penuh kesabaran. Harapan agar Kasih hidup seperti anak-anak normal lainnya terwujud. Kasih pandai mengaji. Dia juga senang menulis puisi seperti Listi.

Kini Kasih sudah duduk di bangku SMP. Potensinya mulai tampak meski tidak mencolok. Berbicaranya pun seperti anak normal lainnya meskipun tidak terlalu banyak bicara. Bagi Listi, itu sudah cukup. Kepercayaan diri putrinya sedikit demi sedikit mulai muncul.

Pada hari ulang tahun Listi, Kasih menuliskan sebuah puisi untuknya

I can hear, Mom
Thank you for always being there for me in my ups and downs.

Duniaku tak lagi sunyi
Aku mendengar dendang lagu kehidupan
yang terukir bersama cinta dan ketulusan.
Kesabaran dan cintamu mengantarku hingga ke titik ini
I love you so much Mom

Listi memandang Kasih yang masih membacakan ayat-ayat Allah dengan merdu. Hatinya penuh keyakinan jika puteri kecilnya ini akan tumbuh menjadi remaja yang cerdas tangguh.

Cibadak 19 November 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun