Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepenggal Kisah Wanondya 2: Perempuan dan Senja

12 November 2022   20:10 Diperbarui: 12 November 2022   20:41 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://lifestyle.okezone.com/read

"Engkau merawat ibumu sambil menunggu kematiannya, sementara ibumu merawatmu sambil mengharap kehidupan dan kebahagiaanmu." - Umar bin khattab 

Senja berhias lembayung. Burung-burung mulai beterbangan untuk kembali ke sarangnya. Mentari pelan-pelan tenggelam dalam pelukan malam.

Aku menatap seorang perempuan tua yang berdiri di depan pendopo rumah gedongan. Perempuan itu menggunakan jarik motif parang kusumo dan kebaya lengkap dengan asesorinya. Beratapkan langit jingga yang memesona, dia berdiri tegak di tepi jalan menatap hamparan sawah yang menguning tepat di seberang rumah itu. Beberapa laki-laki menemani perempuan itu berdiri sambil posisi tegak.

Sudah tiga hari ini aku melihat perempuan itu melakukan hal yang sama. Aku melihatnya dari balik jendela kamar rumah Bude Ayu yang letaknya berada di seberang sebelah kiri rumah itu. Entah apa yang ada dipikirannya. Aku juga tak mengerti apa yang sedang dilakukannya. Rasa penasaran membawa langkahku untuk bertanya kepada Bude ayu.

"Bu de, Siapakah perempuan sepuh yang berdiri di depan rumah gedong itu?" tanyaku penasaran.

"Oh ... itu Eyang Lastri. Ada apa, Nduk?" Bude balik bertanya.

"Aku memperhatikan sudah tiga hari ini, beliau berdiri di depan pendopo sambil memakai pakaian kebaya lengkap dengan asesorisnya. Aku pikir dia akan menerima tamu, tetapi dia masuk kembali setelah suara azan terdengar." Aku memaparkan keanehanku.

"Bude juga kurang paham, kan Bude baru dua bulan tinggal di sini," ujar Bude.

Aku lupa jika Bude Ayu baru pindahan ke daerah ini mengikuti Pakde Jarwo yang mutasi. Aku harus mencari tahu apa yang dilakukan oleh Eyang Lastri setiap sore juga tentang keluarga itu.

Keesokan harinya aku duduk di teras rumah seraya memandangi rumah gedong itu. Tak ada aktivitas apa pun di sana.

Aku membereskan pot-pot bunga aglaonema milik Bude Ayu, kemudian menyiramnya dengan menggunakan sprayer. Mataku sesekali menatap rumah gedong itu dan berharap ada sesuatu yang dapat menjelaskan semuanya.

Tak lama aku melihat Eyang Lastri keluar dengan menggunakan pakaian olahraga. Dia berjalan pelan-pelan seraya menggerakan tangannya. Rupanya Eyang Lastri berjalan santai. Namun, tiba-tiba aku melihat Eyang Lastri terjatuh. Dia tampak kesakitan.

Aku segera berlari dan menolong Eyang Lastri.

"Saya bantu, Eyang," ujarku seraya mengangkat tubuhnya pelan-pelan.

"Terima kasih, Nduk. Kok aku ndak ngelihat ada lubang ya," ujar Eyang Lastri sambil membersihkan bajunya.

"Hati-hati, Yang. Kok Eyang sendirian olahraganya?" tanyaku santun. Aku berpikir ini kesempatanku untuk mengenal perempuan ini lebih dekat.

"Nggih, Nduk. Eyang tak ada yang menemani. Sik ... kamu siapa?" tanya Eyang sambil menatapku tajam.

"Saya Tari panjangnya Puji Lestari. Saya sedang berkunjung ke rumah Bude saya yang tinggal di rumah itu," jawabku seraya menunjuk rumah Bude Ayu.

"Kok namamu mirip aku, ya. Yang jelas ibumu yang niru namaku yang apik ini," ujar Eyang Lastri seraya tertawa.

"Eyang, mau saya antarkan pulang?" tanyaku lagi dan mencari-cari kesempatan untuk lebih mengenalnya.

"Aku mau melanjutkan jalan, Nduk." Eyang Lastri mengambil ancang-ancang untuk berjalan lagi.

"Tunggu, Eyang. Apakah mau Tari temani?" Aku menawarkan diri. Eyang menganggukan kepalanya tanda setuju.

Akhirnya kami berjalan mengelilingi desa. Fisik Eyang Lastri sangat hebat padahal usianya sudah tujuh puluh tahun. . Beliau masih sanggup berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh. Sepanjang perjalanan kami banyak bercakap-cakap.Tak terasa kami cepat akrab karena ternyata kami mempunyai hobi yang sama yaitu membaca dan menulis. Kami berdiskusi tentang beberapa buku yang pernah dibaca.

Eyang Lastri mengajak aku untuk mampir ke rumahnya. Kami bercakap-cakap di ruang tamu. Di dinding ruangan itu banyak foto yang terpampang. Foto seorang wanita di samping pesawat tempur bersama seorang laki-laki gagah. Rupanya itu foto Eyang Lastri bersama almarhum suaminya yang juga seorang penerbang Angkatan Udara. 

Di bagian lain ada foto keluarga yang terdiri dari Eyang Lastri dan suaminya beserta anak cucunya. Tiga orang anak Eyang kini tinggal di tempat yang jauh, satu orang di Singapura, satu orang di Kanada dan satu lagi tinggal Abu Dhabi.

Eyang Lastri adalah purnawirawan wanita udara. Usianya sudah mencapai angka tujuh puluh tahun. Itu artinya beliau dilahirkan pada tahun 1950, lima tahun setelah Indonesia Merdeka. Eyang tinggal sendiri di rumah ini bersama seorang keponakannya.

"Silakan dinikmati, Mbak pisang gorengnya," sapa seorang perempuan yang sepantaran ibuku sambil membawa dua gelas teh hangat dan sepiring pisang goreng," Mbak diminta menunggu dulu, Eyang sedang mandi."

"Terima kasih, Bu. Maaf ibu ini siapa?" tanyaku pelan.

"Saya Ami, keponakan Eyang Lastri. Saya yang menemani Eyang di sini," papar Bu Ami seraya duduk di hadapanku.

"Mengapa Eyang tidak mau ikut dengan anak-anaknya, Mbak?' tanyaku hati-hati. Rasa ingin tahuku muncul saat tahu Eyang tinggal sendiri di rumah ini.

"Mereka tidak mau direpoti oleh Eyang, Mbak. Padahal selama ini Eyang selalu mandiri, tidak pernah merepotkan. Saya kasihan jika Eyang sudah rindu pada cucu-cucunya. Saya sering melihat Eyang menangis karena kesepian. Mbak Anne putri keduanya malah menyuruh Eyang tinggal di panti jompo. Tapi Eyang menolak dan memilih tinggal di sini bersama kenangannya," jelas Bu Ami.

Aku menyimak penjelasan Bu Ami dengan seksama. Aku berpikir kok mereka tega meninggalkan Eyang Lastri tinggal sendiri di sini. Mengapa mereka tidak mau mengajak Eyang Lastri tinggal bersama anak dan cucunya malah menyuruh tinggal di panti jompo.

"Monggo, Mbak. Saya tinggal dulu ke belakang," ujar Bu Ami membuyarkan lamunanku.

Sambil menunggu saya berkeliling melihat-lihat foto-foto keluarga yang terletak di hampir seluruh dinding ruang  tamu.

Saya terpaku pada foto seorang perempuan cantik berpakaian penerbang bersama seorang laki-laki gagah dengan pakaian penerbang pula.

"Itu fotoku dan almarhum suami." Suara Eyang tiba-tiba terdengar dari arah sampingku," Kami baru lulus sekolah penerbangala itu."

"Wah cantik sekali, Eyang saat muda," pujiku sambil tersenyum.

"Memang sekarang Eyang tidak cantik?" tanyanya sambil mencubit pipiku. Aku merasa seperti bercakap-cakap dengan Eyangku sendiri. Padahal kami baru berkenalan beberapa jam lalu.

"Ya tetap cantiklah, Yang," jawabku sambil tertawa. Kemudian kami duduk di teras dekat pendopo.

"Maaf, Eyang. Saya melihat Eyang berdiri di luar sambil mengenakan kebaya dan memandang ke arah mentari yang tenggelam. Apa yang Eyang lakukan?" tanyaku hati-hati saat Eyang sudah duduk di hadapanku.

Eyang terdiam. Dia menghela napas panjang seolah ada beban berat di hatinya. Aku menyesal menanyakan hal itu.

"Maaf, Yang," ujarku singkat sambil mencium punggung tangan kanannya.

"Tidak apa-apa, Nduk," jawabnya singkat," Dua puluh tahun lalu, suamiku mendapat tugas untuk melatih para penerbang muda. Tepat tanggal 10 November kejadian itu terjadi. Pesawat latih hilang dari radar tepat menjelang senja. Tiga hari TIM SAR Gabungan mencari keberadaan pesawat itu dan baru ditemukan setelah tiga hari pencarian. Pesawat itu membentur gunung karena saat itu kabut sangat tebal dan jarak pandang sangat terbatas." Mata Eyang mulai berkaca-kaca saat menceritakan peristiwa itu.

Aku mengambil tisue dan memberikannya kepada Eyang. Kemudian aku memeluk Eyang yang mulai sesegukan menahan tangis.

"Kejadian yang tiba-tiba itu membuat Eyang shock dan tak mempercayai jika suami sudah tiada. Namun iradah Gusti Allah Swt tak dapat dielakkan. Eyang harus menerima takdir itu. Eyang harus bangkit demi anak-anak yang saat itu masih butuh perhatian dan bimbingan." Sesaat Eyang berhenti untuk menceritakan kesedihannya," Dan yang lebih terluka lagi saat anak-anak sudah sukses dan berumah tangga tak ada satu pun yang peduli pada Eyang. Mereka sibuk dengan urusan dan keluarga masing-masing tanpa memberikan kesempatan untuk bersama mereka. Pada saat Eyang merindukan almarhum suami, Eyang selalu berdiri di sana berbaju lengkap seperti yang selalu dilakukan saat dia pulang bertugas dulu."

Kemudian Eyang Lastri tertunduk sambil menahan tangisnya. Aku mendengar isaknya yang pelan. Aku memeluk Eyang Lastri lebih erat lagi, layaknya aku memeluk Bunda. Aku tahu betapa sedihnya Eyang saat ditinggal oleh suaminya. Dia berharap agar anak cucunya dapat menghibur kesepian dan kesedihannya. Namun, Eyang Lastri tampak tak mendapat haknya sebagai seorang ibu dan seorang nenek.

Ketika dia harus menahan kepedihan dan memendam kerinduan dalam hatinya kepada anak dan cucunya, harus berusaha keras untuk memperlihatkan keteharan kepada anaknya, aku  sulit membayangkan, betapa menderitanya perasaan Eyang  saat itu.

Namun demi kebahagiaan keluarga anak -anak dan cucu-cucunya, dia harus rela menerima segala kesedihan, bahkan tidak menyesal untuk membiarkan sang anak berlaku tidak adil terhadapnya. , Namun apakah sebagai anak, kita mau memahami isi hati ibu?


Aku membayangkan wajah Bunda. "Aku tak akan melakukan hal ini kepadamu, Bunda," janjiku dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun