"Kejadian yang tiba-tiba itu membuat Eyang shock dan tak mempercayai jika suami sudah tiada. Namun iradah Gusti Allah Swt tak dapat dielakkan. Eyang harus menerima takdir itu. Eyang harus bangkit demi anak-anak yang saat itu masih butuh perhatian dan bimbingan." Sesaat Eyang berhenti untuk menceritakan kesedihannya," Dan yang lebih terluka lagi saat anak-anak sudah sukses dan berumah tangga tak ada satu pun yang peduli pada Eyang. Mereka sibuk dengan urusan dan keluarga masing-masing tanpa memberikan kesempatan untuk bersama mereka. Pada saat Eyang merindukan almarhum suami, Eyang selalu berdiri di sana berbaju lengkap seperti yang selalu dilakukan saat dia pulang bertugas dulu."
Kemudian Eyang Lastri tertunduk sambil menahan tangisnya. Aku mendengar isaknya yang pelan. Aku memeluk Eyang Lastri lebih erat lagi, layaknya aku memeluk Bunda. Aku tahu betapa sedihnya Eyang saat ditinggal oleh suaminya. Dia berharap agar anak cucunya dapat menghibur kesepian dan kesedihannya. Namun, Eyang Lastri tampak tak mendapat haknya sebagai seorang ibu dan seorang nenek.
Ketika dia harus menahan kepedihan dan memendam kerinduan dalam hatinya kepada anak dan cucunya, harus berusaha keras untuk memperlihatkan keteharan kepada anaknya, aku  sulit membayangkan, betapa menderitanya perasaan Eyang  saat itu.
Namun demi kebahagiaan keluarga anak -anak dan cucu-cucunya, dia harus rela menerima segala kesedihan, bahkan tidak menyesal untuk membiarkan sang anak berlaku tidak adil terhadapnya. , Namun apakah sebagai anak, kita mau memahami isi hati ibu?
Aku membayangkan wajah Bunda. "Aku tak akan melakukan hal ini kepadamu, Bunda," janjiku dalam hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI