Sambil menunggu saya berkeliling melihat-lihat foto-foto keluarga yang terletak di hampir seluruh dinding ruang  tamu.
Saya terpaku pada foto seorang perempuan cantik berpakaian penerbang bersama seorang laki-laki gagah dengan pakaian penerbang pula.
"Itu fotoku dan almarhum suami." Suara Eyang tiba-tiba terdengar dari arah sampingku," Kami baru lulus sekolah penerbangala itu."
"Wah cantik sekali, Eyang saat muda," pujiku sambil tersenyum.
"Memang sekarang Eyang tidak cantik?" tanyanya sambil mencubit pipiku. Aku merasa seperti bercakap-cakap dengan Eyangku sendiri. Padahal kami baru berkenalan beberapa jam lalu.
"Ya tetap cantiklah, Yang," jawabku sambil tertawa. Kemudian kami duduk di teras dekat pendopo.
"Maaf, Eyang. Saya melihat Eyang berdiri di luar sambil mengenakan kebaya dan memandang ke arah mentari yang tenggelam. Apa yang Eyang lakukan?" tanyaku hati-hati saat Eyang sudah duduk di hadapanku.
Eyang terdiam. Dia menghela napas panjang seolah ada beban berat di hatinya. Aku menyesal menanyakan hal itu.
"Maaf, Yang," ujarku singkat sambil mencium punggung tangan kanannya.
"Tidak apa-apa, Nduk," jawabnya singkat," Dua puluh tahun lalu, suamiku mendapat tugas untuk melatih para penerbang muda. Tepat tanggal 10 November kejadian itu terjadi. Pesawat latih hilang dari radar tepat menjelang senja. Tiga hari TIM SAR Gabungan mencari keberadaan pesawat itu dan baru ditemukan setelah tiga hari pencarian. Pesawat itu membentur gunung karena saat itu kabut sangat tebal dan jarak pandang sangat terbatas." Mata Eyang mulai berkaca-kaca saat menceritakan peristiwa itu.
Aku mengambil tisue dan memberikannya kepada Eyang. Kemudian aku memeluk Eyang yang mulai sesegukan menahan tangis.