Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan di Ujung Senja

21 April 2022   12:16 Diperbarui: 21 April 2022   12:29 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:Media Indonesia.com

Senja berhias lembayung. Burung-burung mulai beterbangan untuk kembali ke sarangnya. Mentari pelan-pelan tenggelam dalam pelukan malam.

Aku menatap seorang perempuan tua yang berdiri di depan pendopo rumah gedongan. Perempuan itu menggunakan jarik motif parang kusumo dan kebaya lengkap dengan asesorinya. Beratapkan langit jingga yang mempesona, dia berdiri tegak di tepi jalan menatap hamparan sawah yang menguning tepat di seberang rumah itu. Beberapa laki-laki menemani perempuan itu berdiri sambil posisi tegak.

Sudah tiga hari ini aku melihat perempuan itu melakukan hal yang sama. Aku melihatnya dari balik jendela kamar rumah Bude Ayu yang letaknya berada di seberang sebelah kiri rumah itu. Entah apa yang ada dipikirannya. Aku juga tak mengerti apa yang sedang dilakukannya. Rasa penasaran membawa langkahku untuk bertanya kepada Bude ayu.

"Bu de, Siapakah perempuan sepuh yang berdiri di depan rumah gedong itu?" tanyaku penasaran.

"Oh ... itu Eyang Prameswari. Ada apa, Nduk?" Bude balik bertanya.

"Aku memperhatikan sudah tiga hari ini, beliau berdiri di depan pendopo sambil memakai pakaian kebaya lengkap dengan asesorisnya. Aku pikir dia akan menerima tamu, tetapi dia masuk kembali setelah suara azan terdengar." Aku memaparkan keanehanku.

"Bude juga kurang paham, kan Bude baru dua bulan tinggal di sini," ujar Bude.

Aku lupa jika Bude Ayu baru pindahan ke daerah ini mengikuti Pakde Jarwo yang mutasi. Aku harus mencari tahu apa yang dilakukan oleh Eyang Prameswari setiap sore juga tentang keluarga itu.

Keesokan harinya aku duduk di teras rumah seraya memandangi rumah gedong itu. Tak ada aktivitas apa pun di sana.

Aku membereskan pot-pot bunga aglaonema milik Bude Ayu, kemudian menyiramnya dengan menggunakan sprayer. Mataku sesekali menatap rumah gedong itu dan berharap ada sesuatu yang dapat menjelaskan semuanya.

Tak lama aku melihat   seorang wanita paruh baya keluar dengan menggunakan pakaian olah raga. Dia berjalan pelan-pelan seraya menggerak-gerakkan tangannya. Mungkin salah satu anggota keluarga  di situ dan akan berjalan santai. Namun, tiba-tiba aku melihat dia terjatuh. Dia tampak kesakitan.

Aku segera berlari dan menolong perempuan itu.

"Saya bantu, Bu," ujarku seraya mengangkat tubuhnya pelan-pelan.

"Terima kasih, Nduk. Kok aku ndak ngelihat ada lubang ya," ujar perempuan itu sambil membersihkan bajunya.

"Hati-hati, Bu. Kok ibu sendirian berolahraga?" tanyaku santun. Aku berpikir ini kesempatanku untuk mengenal keluarga itu lebih dekat.

"Iya, Nduk. Maturnuwun, Nggih. Aku Lastri. Orang-orang memanggilku Bude Lastri. Sik ... kamu siapa? Rasanya aku baru melihatmu di sekitar sini" tanyanya sambil menatapku tajam.

"Saya Tari panjangnya Puji Lestari. Saya sedang berkunjung ke ruma Bude saya yang tinggal di rumah itu," jawabku seraya menunjuk rumah Bude Ayu.

"Kok namamu mirip aku, ya. Yang jelas ibumu yang niru namaku yang apik ini," ujar Eyang Lastri seraya tertawa.

"Bude, mau saya antarkan pulang?" tanyaku lagi dan mencari-cari kesempatan untuk lebih mengenalnya.

"Aku mau melanjutkan jalan, Nduk." Bude Lastri mengambil ancang-ancang untuk berjalan lagi.

"Tunggu, Bude. Apakah mau Tari temani?" Aku menawarkan diri. Bude menganggukkan kepalanya tanda setuju.

Akhirnya kami berjalan mengelilingi desa. Fisik Bude Lastri sangat hebat. Beliau masih sanggup berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh. Sepanjang perjalanan kami banyak bercakap-cakap.

Banyak kesamaan antara aku dan Bude Lastri, misalnya gemar menanam bunga, gemar menulis dan juga gemar memasak. Dalam waktu singkat, kami menjadi akrab. Bude Lastri mengajakku untuk beristirahat di sebuah taman kecamatan. Kami duduk di sebuah bangku yang terbuat dari bebatuan alam.

"Maaf, Bude, bolehkah saya bertanya sesuatu?" tanyaku hati-hati. Aku menatapnya dengan cemas.

"Apa, Nduk?" Bude Lastri balik bertanya.

"Sudah beberapa hari ini aku melihat perempuan yang berdiri di depan pendopo setiap senja ...." Aku bertanya dengan ragu. Aku takut menyinggung perasaan Bude Lastri.

"Oh ... itu Budeku. Orang-orang memanggilnya Eyang Prameswari. Usianya sudah 95 tahun pada tanggal 21 April ini," papar Bude Lastri.

"Hmm ... sudah sepuh sekali ya, Bude, tetapi saya lihat beliau masih sehat," ulasku mencairkan suasana.

"Alhamdulillah, Eyang selalu rajin menjalankan ibadah. Tiap malam tidak pernah lepas salat tahajud. Dan beliau menjaga makanannya serta rajin gerak badan," jelas Bude Lastri.

Selama sepuluh tahun Eyang Prameswari melakukan itu menjelang ulang tahunnya. Ulang tahun Eyang bertepatan dengan kelahiran R.A. Kartini yang menjadi tokoh idolanya. Eyang berusaha keras untuk menyekolahkan putri-putrinya hingga mencapai gelar sarjana. Mereka berprinsip perempuan harus mencapai cita-cita yang tinggi. Padahal kehidupan mereka sangat sulit. Eyang Putri dan Eyang Kakung bekerja keras agar cita-cita mereka tercapai." Bude Lastri bercerita sambil memandang awan yang bergumpal di angkasa.

"Lalu mengapa Eyang Prameswari tampak bersedih, Bude. Tari melihat Eyang berwajah muram seraya memandang ke arah jalan dan hamparan sawah," ujarku penasaran.

"Eyang mempunyai tiga orang anak, semuanya perempuan. Saat suaminya masih ada beban hidup mereka tidak terlalu berat. Hamparan sawah itu dulunya milik mereka. Namun, saat suaminya meninggal, hidup mereka mulai terasa berat. Cita-cita menyekolahkan putri-putrinya terus membara dalam hati. Eyang menjual sawah itu untuk biaya kuliah putri-putri mereka. Beliau juga berjualan masakan di rumahnya," urai Bude menahan tangisnya.

"Di mana putri-putri mereka sekarang?" tanyaku lagi.

"Mereka sudah menjadi orang sukses. Mereka yang merenovasi rumah ini hingga semegah ini. Dulu sebelum mereka sukses seperti sekarang ini, mereka selalu menyempatkan diri pulang ke sini untuk merayakan ulang tahun Eyang seraya merayakan peringatan Hari Kartini. Semua harus menggunakan pakaian adat Jawa lengkap. Berbagai acara digelar di sini. Namun, lambat laun kebiasaan itu jarang dilakukan dan sepuluh tahun ini kebiasaan itu sudah tidak pernah dilakukan lagi." Bude Lastri bercerita sambil menyeka air matanya.

Aku paham sekarang ini, alasan Eyang Prameswari berdiri di depan pendopo itu. Kerinduannya pada suasana kebersamaan dengan putri-putri dan para cucunya, membuat duka bersemayam di hatinya dan tampak di wajahnya. Betapa perjuangannya mewujudkan cita-cita Kartini dan menjadikan putri-putrinya berpendidikan dan sukses. Perjuangan emansipasi yang nyata dan bukan omong kosong semata.

Aku berbisik kepada Bude Lastri dan menyampaikan rencanaku. Bude tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya. Pagi itu kami berharap tak akan ada lagi duka di hati Eyang Prameswari.

Ibu kita Kartini ... putri sejati

Putri Indonesia, harum namanya.

#Selamat Hari Kartini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun