Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Topeng Bab 3 Berkunjung ke Sahabat Lama

9 Maret 2022   19:54 Diperbarui: 9 Maret 2022   19:57 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Arman sudah bersiap-siap akan bersepeda. Dia akan berkeliling kota Cirebon dan menikmati udara Cirebon yang cukup segar pagi ini. Mumpung masih pagi dan belum banyak kendaraan, dia segera mengendarai sepeda milik mas Bambang.

"Om, mau kemana? " teriak Dinda yang terdengar dari teras.

"Gowes, Cantik. Mau ikut?" ajak Arman kepada ponakannya.

"Malas ah. Dinda mau mengurus tanaman. Om belum mandi kan?,' ujar Dinda sambil menyemprotkan selang air ke arahnya.

"Ampun. Kamu nih jahil, Dinda," jawab Arman sambil cabut dari hadapan Dinda.

Arman bersepeda dari Jalan Veteran, jalan Ciptomangunkusumo lalu  berbelok ke jalan Kartini. Kemudia dia belok ke kanan lagi melewati pasar Pagi. Keadaan Cirebon sudah berubah. Beberapa hotel berdiri di sepanjang jalan yang aku lalui tadi. Gedung-gedung swalayan yang tinggi juga bertebaran di beberapa sudut jalan.

Dia berhenti di perempatan Jalan Pasuketan karena traffic light menunjukan warna merah. Sambil menunggu lampu hijau, matanya beredar dan memperhatikan beberapa mobil mewah yang berhenti di samping kanannya.

Dia melihat ada mobil Fortuner hitam. Gagah sekali mobil ini. Pasti mahal harga mobil ini. Mungkin seharga gajinya selama dua puluh tahun. Tiba-tiba ada seorang pengemis menadahkan tangan di samping mobil Fortuner itu. Seseorang membuka jendela yang sejak tadi tertutup rapat. Kepala seorang wanita muncul dari balik jendela sambil menyodorkan uang seratus ribuan ke tangan pengemis itu. Wanita itu tersenyum saat pengemis itu membacakan doa-doa yang tak henti-hentinya.

Hei... itukan Centini.  Dia melihat ada seorang lelaki paruh baya duduk di sampingnya.

"Centini!" teriaknya sambil melambaikan tangannya. Arman berusaha teriak dengan suara yang sangat keras

Beberapa orang di dekatnya menengok ke arah dirinya. Namun usahanya untuk menarik perhatian Centinj sia-sia karena perempuan itu menutup kembali jendela mobilnya. Dia mungkin tak mendengar teriakan Arman. Mobil itu melesat cepat begitu lampu berubah hijau. Ah...Arman kecewa karena tak dapat mengejar mobil itu.

"Siapa laki-laki yang bersama Centini tadi, ya?" tanyanya dalam hati," Apakah itu suami Centini? Tapi kok usianya sangat berbeda jauh dengan Centini? Pantasnya laki-laki itu menjadi bapaknya."

Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi benak Arman. Tak ada satu pun jawaban yang dapat dia temukan. Yang tersisa rasa sakit di dalam dada ini. Apakah dia cemburu?

Arman memang baru bertemu  Centini dua kali. Selama itu pula dia belum mengetahui kisah Centini sebenarnya. Perubahan Centini yang sangat cepat, membuatnya penasaran.

Apakah mungkin Centini yang hanya seorang penari mampu mendapatkan harta kekayaan yang cukup banyak seperti sekarang ini? Apakah dia menggunakan cara tak lumrah untuk mendapatkan semua yang dia miliki sekarang? Mungkinkah gosip yang dia dengar saat nonton festival tempo hari itu benar? Hah... Arman tidak boleh berburuk sangka pada Centini.

Selanjutnya Arman mengayuh sepeda tanpa semangat. Pikirannya selalu tertuju pada Centini. Sejak dia berlibur di sini satu minggu lalu, ia belum sempat mengorek cerita tentang Centini lebih banyak lagi. Itu artinya dia harus mencari informasi tentang Centini lebih banyak lagi.

Arman tak bersemangat untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke rumah Mbak Arini. Kulihat Nadia sedang duduk sambil melihat bundanya yang sedang menyiram tanaman di halaman depan.

"Sudah sampai ke mana tadi, Om?" tanya Nadia penuh selidik.

"Mau tahu saja atau mau tahu banget," godamya sambil mencolek hidung Nadia. Keponakannya itu berteriak sambil meninju tangannya.

"Ah...bau keringat Om." teriak Nadia. Kemudian Arman mendekati kakaknya yang sedang menyiram tanaman.

"Mbak, pernah bertemu dengan guru tari Nadia?" tanya Arman pada Mbak Arini pelan.

"Bu Centini? Itu kan kawan SMA-mu, Man?" Mbak Arini balik bertanya. Arman mengangguk.

"Aku tadi melihatnya di dalam mobil mewah bersama seorang laki-laki paruh baya," jelasnya sambil berbisik. Arman takut Nadia mendengar ucapannya.

" Yang aku dengar   Bu Centini sudah menikah dengan orang Jakarta. Konon suaminya seorang pengusaha kaya, cuma itu yang mbak tahu," kata mbak Arini dengan suara pelan. Dia melirik ke arah Nadia yang sedang asyik bermain Barbie kesukaannya.

Jawaban Mbak Arini tidak memuaskan hati Arman. Dia harus mencari tahu tentang Centini. Jika dia bertanya langsung pada Centini, dia merasa tidak enak. O ...ya, Arman ingat kemarin Centini memberinya nomor telepon Gondo.

Mungkin Gondo bisa menceritakan tentang Centini kepadanya karena selama ini Gondo dan Diah masih sering bertemu dan berkomunikasi dengan Centini.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Arman segera mengambil gawai yang tersimpan di kamar. Arman mencari nomor Gondo atau Diah.

"Nah..ini dia nomor, Gondo," katanya senang. Arman menghubungi nomor tersebut.

"Nomor Anda berada di luar jangkauan." Suara dari gawai membuatnya tak sabar. Dia juga mencoba nomor Diah.

"Assalamualaikum," jawab suara perempuan terdengar dari gawainya.

"Waalaikumusalam. Apakah ini nomor ibu Diah Ciptaloka?" tanyanya sambil duduk di kursi kecil.

"Betul. Saya berbicara dengan siapa ,ya?" tanya Diah ragu-ragu. Suara Diah tidak berubah. Masih sama saat dia duduk di SMA dulu.

"Calon politikus pergi ke cenayang. Perahu nelayan bersandar di Gresik. Lupakah engkau duhai sayang. Padaku si pria yang menarik," jawab Arman membacakan pantun yang sering dia ucapkan saat SMA dulu.

"Hai...pasti Arman, ya? Apa kabarmu, Man?" tanya Diah langsung mengenali suaranya.

"Ha..ha..rupanya kamu tidak pernah melupakan aku ya,Di?"

"Pasti tidak. Karena hanya kamu seorang temanku yang sering  berpantun. Apa kabarmu, Man?" tanya Diah .

"Alhamdulillah sehat,Di. Bagaimana kabarmu dan Gondo. Katanya kalian sudah menikah?" tanya Arman penuh selidik.

 "Kita berjodoh, Man. Apakah kamu juga sudah berkeluarga?"tanya Diah penasaran. Arman hanya menjawab dengan tawa.

"Di, apakah suamimu ada di rumah? Sekarang aku mau mampir ke rumah kalian boleh?" tanya Arman tanpa basa basi.

"Pasti bolehlah . Ayo kutunggu, ya. Pasti Gondo senang dengan kedatanganmu," jawab Diah senang.

"Ngomong-ngomong di mana rumahmu?" tanya Arman kemudian.

 "Oke aku share loc ya," ujar Diah kemudian. Mereka kemudian membuat janji temu. Arman  segera menutup gawainya dan segera bergegas mengambil kunci mobil.

Dia harus mengorek keterangan tentang Centini dari kedua sahabatnya sekaligus melepas kangen dengan mereka. Maklum sudah belasan tahun mereka tidak bertemu atau sekedar saling menyapa lewat telepon. 

Baca Juga

Topeng Bab 1 Pertemuan  

Topeng Bab 2 Curahan Hati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun