Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Topeng Bab 2 Curahan Hati

8 Maret 2022   14:43 Diperbarui: 8 Maret 2022   15:17 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Topeng. sumber: behance.net

Suara azan Isa terdengar keras dari mesjid kompleks. Arman segera menjalankan shalat Isa di dalam kamar. Kali ini dia mangkir shalat berjamaah di masjid karena akan datang ke rumah Centini. Rasanya sudah tak sabar lagi bertemu dengannya. Beginikah rasanya para ABG yang sedang merindukan orang yang dicintainya?

Setelah shalat Isa, Arman bersiap-siap dan merapikan penampilannya. Dia menatap bayangan di cermin. Dia perhatikan wajah yang terpantul di cermin.

" Hm..aku masih cukup tampan untuk lelaki yang sudah berusia 35 tahun," guamamnya dalam hati.

Lelaki berusia 35 tahun seharusnya sudah menikah dan memiliki anak, contohnya Diah dan Gondo. Namun, dia belum memiliki orang yang dicintai dengan sepenuh hatinya.

Arman masih menjomblo sampai sekarang. Beberapa rekan kerjanya sering mengingatkan untuk segera mencari pasangan. Beberapa orang di antara mereka kerap menjadi mak comblang. Mereka menyodorkan teman, saudara atau adik untuk dia jadikan teman hidup. Namun entah mengapa Arman tak merasa tertarik apalagi jatuh cinta kepada salah satu di antara mereka.

"Kau ini bujal, Arman," ujar Farhan sahabat Arman suatu hari.

"Maksudmu?" tanya Arman tak paham.

"Bujang lapuk. Di usiamu harusnya kau sudah punya anak," ujar temannya itu. Farhan sendiri sudah mempunyai seorang anak berusia 8 tahun.

"Slow down, Han. Aku yakin kalau Allah sudah menakdirkanku untuk menikah, Dia akan memberikan seseorang yang akan menjadi bidadari surgaku," kata Arman santai saat itu meskipun perasaannya sedikit terganggu.

Ah...sudahlah. Arman tak perlu memikirkan itu. Dia segera ke luar kamar.

"Mas, aku boleh pinjam mobilmu?" tanya Arman kepada mas Bambang, suami mbak Arini. Mas Bambang hanya mengangguk. Matanya fokus tertuju ke televisi yang sedang menayangkan liga 1.

 "Kamu mau pergi kemana, Dik?" tanya mbak Arini yang muncul dari arah kamar.

"Cie... cie... Om mau wakuncar ya?" ledek Dinda yang duduk di samping Mas Bambang.

"Wakuncar? Emang kamu sudah mendapatkan pacar di sini? Secepat itu? Padahal kamu baru tiga hari ada di kota ini?" pertanyaan Mbak Arini beruntun laksana senjata AK.

"Doakan saja, ya," jawab Arman pendek sambil mengambil kunci mobil di atas bupet dan berlalu. Dia tak mempedulikan godaan Mbak Arini dan Dinda.

Suasana jalan tampak ramai. Mungkin malam Minggu ini orang-orang banyak berjalan-jalan dan refreshing setelah satu minggu bekerja.

Di taman kota, beberapa pasangan sedang bercakap-cakap sambil menikmati jajanan yang dijual di gerobak-gerobak. Ada pula atraksi sulap yang dipenuhi oleh anak-anak.
Arman mengarahkan mobilnya ke arah utara, daerah pesisir yang ditujunya. Sambil mengingat-ingat kembali jalan menuju rumah Centini. Terus terang dia agak lupa karena banyak yang berubah di daerah sini. Beberapa gedung megah berdiri di samping kanan kiri jalan.Dia masih ingat rumah Centini berada di jalan kecil. Ciri-cirinya sebelah kiri jalan ada kantor kelurahan. Dia terus mengamati namun rumah yang dicarinya tak ditemukan. Arman menyerah dan memutuskan untuk menelepon Centini.

"Ada Bank BRI di sebelah kanan, Man. Nah sebelah BRI itulah rumahku," jelas Centini.

Arman kembali mencari rumah yang dimaksud. Akhirnya dia menemukan rumah itu. Arman agak ragu-ragu karena rumah itu sangat megah. Di depannya ada pendopo luas dan rumahnya cukup besar. Bukankah dahulu rumah Centini terletak di dalam gang dan tidak terlalu luas.

Arman menghentikan mobilnya tepat di pinggir pintu gerbang rumah. Arman turun dan menanyakan tentang penghuni rumah itu kepada satpam yang sedang berjaga di pos jaga.

"Selamat malam, Pak. Saya mau nanya apakah ini rumah Centini?" tanyanya kepada salah seorang satpam dengan sopan.

"Ya betul. Bapak siapa? Apa tujuan menemui Bu Centini? Sudah membuat janji?" selidik satpam itu.

Waduh, dirinya diinterogasi laksana seorang tersangka. Dia heran kok Centini begitu cepat berubah padahal baru lima belas tahunan kami berpisah. Sekarang sahabatnya itu seperti seorang pejabat yang sulit ditemui. Rumahnya megah dan dijaga oleh dua orang Satpam.

"Sudah, Pak. Ibu Centini menyuruh datang ke rumah ini," jawab Arman singkat.

"Sebentar saya konfirmasi dulu ke ibu. Siapa nama Bapak."Arman menyebutkan namanya lengkap.

Aku mendengar salah seorang satpam menghubungi penghuni rumah melalui telepon. Arman melihat satpam menganggukan kepala sambil mengatakan ya Bu.
Kemudian seorang satpam membukakan gerbang dan menyuruh Arman parkir di dalam rumah. Kemudian dia mengantar ke sebuah ruangan yang berada di samping gedung.

Ruangan itu cukup luas. Ada satu set sofa tertata di sudut kanan. Di bagian kiri ada satu set gamelan, seperangkat sound sistem, dan lemari berisi pakaian tari dan piala-piala yang berjejer rapi. Rupanya ruangan ini sanggar tari milik Centini. Di dinding tengah tampak foto Centini sedang menari topeng lengkap dengan kostum tarinya.

"Silakan duduk, Pak," ujar sang Satpam lebih sopan dari biasanya," Sebentar lagi ibu akan menemui Bapak."

"Terima kasih," kata Arman sambil duduk di sofa dekat jendela.

Arman mengedarkan lagi pandangannya ke seluruh ruangan yang dingin ber-AC ini. Semuanya tertata rapi dan apik.

"Selamat malam, Arman. Selamat datang di kediamanku," sapa suara lembut yang berasal dari arah sampingnya.
Ternyata Centini yang menyapanya tadi. Arman tak berkedip saat melihat wanita yang berusia di hadapannya.

Sebuah pemandangan langka dan jarang dia temui. Seorang perempuan cantik laksana bidadari sedang berhadapan dengannya. Tubuh Centini hanya dibalut dengan gaun merah lengan panjang. Badannya yang semampai sangat serasi dengan gaunnya yang menjuntai hingga bawah lutut.

"Hai...mengapa kamu memandangku seperti itu, Arman!" ujar Centini sambil menepuk bahunya.

"Kamu tampak cantik laksana bidadari," ujarnya keceplosan.

"Kamu bisa saja. Gombal tahu," kata Centini sambil tertawa kecil.

Centini duduk dengan santun di hadapannya. Dia duduk sambil menyilangkan kaki kanannya. Bahasa tubuhnya gemulai sama dengan saat dia menari. Arman merasa kikuk saat berhadapan dengan Centini malam ini. Jantungnya berdebar tak beraturan.

"Kemarin kita belum ngobrol banyak ya, Tin. Padahal aku ingin tahu kabarmu lebih banyak. Kamu sudah menjadi penari hebat rupanya," Arman akhirnya membuka percakapan.

"Alhamdulillah, Man. Aku tetap eksis di dunia tari. Sejak lulus SMA aku berlatih ke seorang maestro tari Topeng dan beberapa pelatih tari daerah. Kemudian aku membuka sanggar tari di teras rumahku. Awalnya hanya beberapa murid yang mau berlatih di tempatku. Namun aku bertekad untuk melestarikan budaya daerah. Hampir tiga tahun aku mempromosikan sanggarku itu. Alhamdulillah akhirnya muridku semakin banyak. Muridku sebagian besar remaja-remaja yang punya kepedulian pada budaya nenek moyang," Centini bercerita panjang lebar,"Murid-muridku sering tampil di acara-acara yang digelar oleh pemda atau undangan perorangan."
Arman sangat kagum pada perjuangan Centini ini. Perempuan ini memang seorang pejuang sejak dahulu.

"Piala-piala itu?" tanyanya sambil menunjuk jejeran piala dalam lemari.

"Oh, itu hasil kerja keras murid-muridku. Mereka aku ikutkan di ajang lomba tari daerah di tingkat kabupaten sampai nasional."

"Kudengar kamu juga sering tampil di luar negeri?" tanya Arman lebih jauh.

"Aku sering diundang pada acara-acara di sana. Bukan hanya aku sendiri. Ada beberapa orang yang kuajak tampil dan melatih tari di beberapa KBRI. Alhamdulillah, mungkin karena banyaknya prestasi mereka, banyak remaja yang juga tertarik berlatih tari."

"Mengapa kamu tidak membuat sanggar di sini, Tin?"

"Waktu itu aku membuat sanggar tari di rumah orang tuaku.  Aku bingung saai itu karena lahan di rumah ini   sangat sempit. Akhirnya ada seseorang yang membuatkanku sanggar. Itu sanggar Nyi Mas Gandasari tempat Dinda berlatih itu."

Arman mendengarkan cerita Centini dengan sabar. Gadis ini memang sudah berubah. Dulu dia jarang sekali bicara. Sekarang dia cerewet dan sedikit galak kalau sedang mengajar.

Senyum manis dan kelembutan Centinilah yang kerap membuat hatinya berdebar apalagi Centini berada di dekatnya. Namun perasaan itu selalu dia simpan rapat di relung hatinya yang paling dalam. Mungkin persahabatan kami lebih baik daripada harus menjadi kekasih.

"Kamu sendiri bagaimana, Man? Cerita dong kepadaku," ujar Centini membuyarkan lamunannya.

 "Hm... apa yang harus kuceritakan?" Arman balik bertanya.

"Apa pun tentang dirimu," ujar Centini. Arman menahan ucapannya saat seorang wanita paruh baya membawakan minuman dan camilan ke ruangan itu.

Ini minumannya, Bu," ujarnya santun.

"Simpan di meja sini, Mbak Jum," ujar Centini sambil membantu merapikan. Setelah itu mbak Jum masuk kembali.

"Ayo sambil minum, Man," tawar Centini sambil memberikan cangkir berisi teh hangat kepadanya,"Aku dengar kamu kuliah di Bandung?"

"Kamu tahu dari mana? Kan sejak perpisahan kita tidak pernah bertemu lagi," jawab Arman pelan.

"Gondo dan Diah yang memberitahuku. Kami sering bertemu. Setiap bulan kami berkumpul. Kamu pernah bertemu dengan mereka?"

"Belum pernah. Aku jarang pulang saat kuliah. Pada saat lulus aku sempat tinggal di sini. Hanya kejadian tragis yang memaksaku harus pergi," Arman bercerita sambil menahan sedih

"Kejadian tragis? Orang tuamu yang mendapat kecelakaan itu?" tanya Centini agak keras.
Arman mengangguk pelan. Centini memandangnya dengan perasaan iba.

"Maaf ya, Man. Aku tidak datang melayat saat itu. Gondo dan Diah memberitahukan berita itu. Namun saat itu aku sedang ada di Jepang bersama anak-anak. Ada acara festival budaya daerah di KBRI Jepang," ujar Centini penuh penyesalan.

"Tidak apa-apa, Tin. Semua sudah menjadi takdir kami sekeluarga. O, ya, mana suamimu?" tanyanya penasaran karena sejak tadi dia tak melihat orang lain selain mbak Jum. Centini tersenyum mendengar pertanyaannya.

"Berapa anakmu, Man?" Centini balik bertanya.

Arman merasa ada sesuatu yang disembunyikan Centini. Dia melihat mata sahabatnya itu menyimpan rahasia yang tak ingin diketahui olehnya.

'Kamu hebat, Tin. Dalam tempo belasan tahun, kamu sudah berubah seperti ini," kata Arman sambil menunjuk semua yang ada di rumah itu," Kamu sudah menjadi orang sukses."

Sejenak Centini terdiam. Dia menarik nafas panjang seolah ada beban berat yang sedang menghimpitnya.

"Berapa lama kamu akan ada di kota ini?" tanya Centini mengalihkan pertanyaan.

"Masih satu minggu lagi aku berlibur di sini. Aku bersyukur liburanku kali ini aku dapat bertemu denganmu. Aku juga ingin bertemu dengan Gondo dan Diah. Aku minta alamat mereka, ya." Centini mengangguk pelan. Dia menuliskan alamat di sebuah kertas berikut nomor telepon Gondo dan Diah.

Arman melihat detak jam digital yang tergantung di dinding di depanku. Jam digital itu sudah menunjukkan angka 10.50. Tak terasa kami sudah mengobrol tiga jam lamanya.

 Arman harus pulang karena tidak patut ada di rumah seorang perempuan yang tanpa muhrim. Meskipun dia masih betah dan ingin berlama-lama di sini, dia harus tetap permisi. Arman tidak mau digosipkan yang tidak-tidak oleh penduduk. Kasihan Centini, nama baiknya akan tercoreng.

"Aku pamit dulu ya, Tin. Sudah malam, aku takut didatangi Hansip dan dilaporkan kepada suamimu," ujar Arman bercanda. Centini hanya senyum tipis. Akhirnya Arman pulang tepat pukul 11.
Sambil mengendarai mobil, Arman memandang langit sekilas. Di sana ada rembulan merah dihiasi bintang-bintang. Laki-laki itu berharap secerah itu pula hatinya malam ini.

 Klik untuk baca: Topeng Bab 1 Pertemuan
https://www.kompasiana.com/ninasulistiati0378/622449e631794931a164cbd2/topeng-1-pertemuan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun