"Tolong! Tolong aku. Jangan kau pukul aku dengan cemeti api itu. Aku mohon!" teriak aku dengan keras dan suara memelas.
"Bunda! Bunda bangun!" Suara Anisa membangunkan aku sambil mengoncang-goncangkan tubuhku. Dia menangis histeris. Aku melihat dia memeluk tubuhku erat.
Ya, aku harus kembali kepada anak -- anakku. Biarlah aku berkorban demi kebahagiaan mereka. Aku ingin melihat mereka mandiri. Aku tidak boleh meninggalkan mereka terlalu cepat. Biarlah masalahku dengan mas Bayu akan kami selesaikan nanti.
Pelan-pelan aku membuka mataku kemudian menggerakan jemariku perlahan. Mas Bayu dan Hafidz duduk di samping tempat tidurku. Mereka menangis sambil memandangku yang tadi sudah tak bergerak. Anisa masih memeluk tubuhku sambil terus menangis.
"Ayah! Lihat bunda sudah siuman!" teriak Anisa tiba-tiba sambil melihat kepada mas Bayu dan kakaknya.
"Alhamdulillah! Bunda jangan tinggalkan kami, ya," ujar Hafidz sambil memelukku. Anisa pun melakukan hal yang sama. Sementara mas Bayu tersenyum ke arahku.
Beberapa suster mendekatiku. Tak lama kemudian dokter datang untuk memeriksa.
"Alhamdulillah, ibu sudah siuman. Hal itu berarti masa kritis ibu sudah lewat. Insyaallah setelah beberapa dirawat, ibu akan pulih kembali. Hasil CT Scan tidak menunjukkan ada sesuatu yang membahayakan kesehatan ibu," jelas dokter setelah selesai memeriksa.
Aku tersenyum ke arah anak-anakku. Merekalah harapanku sekarang ini. Mereka yang menyemangati aku untuk hidup kembali. Terima kasih ya ... Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H