"Insyaallah, kami akan melakukan yang terbaik untuk bundamu. Kamu harus membantu dengan doa ya, Nak," kata dokter sambil tersenyum.
"Bolehkah kami menengok bunda, Dok?" Hafidz memandang dokter dengan penuh harap.
"Boleh, tapi lebih baik Bapak mengurus ke bagian administrasi terlebih dahulu. Kami harus segera memindahkan ibu ke ruang ICU setelah kami melakukan tindakan," jawab dokter sambil mempersilakan mereka keluar ruangan.
Wah! Betapa aku sangat bahagia. Aku sangat disayangi suami dan anak-anakku. Aku kembali ke ruang IGD dan melihat ragaku yang tergeletak di sana.
Pelan-pelan aku berdiri di samping wanita itu. Aku mengamati tubuhku dari mulai kepala hingga ujung kaki. Aku mengingat apa yang sudah terjadi. Aku kok mendadak tidak ingat apa-apa.
"Bunda...sadarlah! Kami tidak mau kehilangan Bunda. Kami sangat menyayangimu," suara Hafidz terdengar dari luar ruang ICU. Aku memandang pemuda yang berdiri di jendela kaca ruang ICU.
"Kak, ayo kita berdoa agar Allah menyelamatkan bunda," ajak Anisa yang berdiri di sampingnya. Kemudian mereka membuka mushaf Al quran yang ada di HP mereka kemudian mengaji. Mereka membaca surat Yasin.Suara mereka sangat merdu dan sangat menyentuh hatiku.
Aku kembali memandang tubuhku yang tengah terbaring di ruang ICU itu. Beberapa selang tampak di beberapa bagian tubuh itu.
Aku mendengar suara lantunan ayat-ayat suci Al quran. Suara mereka sangat menyejukkan hatiku. Aku harus bersyukur karena mereka sudah membaca Al quran dengan fasih. Tidak sia-sia usaha kami mendidik mereka.
Aku mendekati anak-anakku di luar ruang ICU itu. Aku menyentuh bahu Anisa. Namun apa yang terjadi? Aku sama sekali tak dapat menyentuhnya. Begitu juga saat aku menyentuh bahu Hafidz. Mereka tak bereaksi dan tetap diam saja. Apakah mereka tidak melihat kehadiranku? Ada apa denganku ini?
Aku terduduk di bangku yang berada di depan ruang ICU. Aku mencoba tenang dan mengingat apa yang sebenarnya terjadi kepadaku.