Bu Hani dan bu Lilis menemaniku beberapa saat di rumah. Mereka mengajakku shalat berjamaah dan bertadarus agar hatiku lebih tenang. Aku bersyukur karena memiliki tetangga yang sangat baik.
"Aku tidak percaya suamiku akan selingkuh dariku, Bu," keluhku sambil menaham tangis. Bu Hani hanya mengelus punggungku.
"Sabar mbak Aruna. Kita belum tahu kebenarannya. Kita tunggu mas Bayu agar tahu apa yang sebenarnya. Siapa tahu wanita itu sengaja dikirim ke sini hanya untuk menghancurkan keluarga kalian," nasehat bu Lilis dengan lembut.
Ya, benar juga apa yang disampaikan bu Lilis. Aku harus mendengar langsung dari mulut mas Bayu tentang pengakuan wanita itu. Aku harus bersabar dan terlihat tenang agar tidak membuat cemas anak-anak.
Setelah yakin aku tenang, bu Lilis dan bu Hani pulang ke rumah masing-masing. Aku melanjutkan wiridku agar hatiku tenang kembali. Hafidz dan Anisa sebentar lagi akan pulang. Mereka tidak boleh melihatku menangis. Aku tidak ingin mereka mengetahui masalah ini sebelum jelas kebenarannya.
Malam harinya mas Bayu pulang pukul tujuh. Tidak biasanya dia pulang masih sore seperti ini. Biasanya dia tiba di atas pukul 10 malam. Aku membiarkannya seolah tak ada masalah apa-apa. Namun tetap saja hatiku yang sudah terluka tak dapat kututupi.
"Bunda, aku ingin berbicara," ujar mas Bayu mendekati aku yang sedang duduk di sofa kamar.
"Aku sudah tahu apa yang akan ayah bicarakan. Wanita yang bernama Vania dan mengaku isteri ayah, bukan?" tanyaku sambil menahan emosi. Aku berdzikir dalam hati agar amarahku tak meledak lagi.
"Jadi Bunda sudah tahu?' tanya suamiku balik bertanya. Aku hanya diam. Dadaku serasa sesak. Tubuhku gemetar menahan tangis yang akan tumpah.
"Maafkan ayah yang tak dapat menjaga amanah dan kepercayaan Bunda," gumam suamiku sambil menundukkan kepala.
"Itu artinya ayah sudah mengkhianati bunda. Bagi pengkhianat pasti akan ada sanksinya. Silakan ayah pilih kami atau wanita itu," ujarku tegas. Aku bersikap tegar di hadapan mas Bayu. Aku tak ingin terlihat lemah di hadapannya.