"Bener juga sih, kayaknya Mamah terlalu maksain kamu deh. Seharusnya Mamah jangan terlalu maksain kamu buat jadi guru! Mulai sekarang terserah kamu deh, asalkan menjadi yang lebih baik," Ucap Mamah dengan senyum di bibirnya, sambil menengok ke arah Jajang.
"Nggak usah minta maaf mah, Jajang juga yang salah, tapi Mah, terima kasih, " Ucap Jajang dengan wajah senang.
"Iya, mau salah gk salah, kita minta maaf aja, intinya kita harus saling memaafkan," Ucap Mamahnya.
"Ya mah, bener juga, terima kasih ya Mah. Tapi," Ucap Jajang.
"Kalau Ayah gimana?. Ayah Setuju gak?" Tanya Jajang dengan wajahnya yang ragu.
"Benar sih kata Mamah. Ayah setuju dengan omongan Mamah. Kalau Ayah setuju aja, tapi Ayah mau nanya nih, emangnya kamu udah punya tujuan?" Jawab Ayah dengan wajah serius.
"Belum tahu sih, mau kemana nanti, tapi Jajang usahakan secepatnya Jajang bakal nemuin tujuan Jajang, untuk kedepannya mau jadi apa," Ucap Jajang dengan raut muka yang pura-pura bahagia.
Ayah ingin bertanya, kenapa kamu berhenti bermain bola, padahal dulu kamu sering sekali bermain bola. Apa karena Ayah menyuruh kamu untuk menjadi guru? "Tanya Ayah dengan senyum di wajahnya.
"Bukan karena Ayah, bukan karena Mamah juga, waktu itu banyak orang yang bilang, kalau misalnya jadi pemain bola itu nggak enak Nanti tuh katanya bisa, tangan patah, kaki patah, kesamber petir. Nah dari situ, jadi males main bola," Jawab Jajang dengan wajah pura-pura bahagia.
"Hahaha.. Kamu lucu banget sih, itu namanya resiko lah, setiap kegiatan atau hal lainnya, pasti punya resiko. Ayahkan guru, Ayah harus sabar mengajar murid - murid lainnya, itu resiko guru. Ayah jadi suami Mamah kamu, Ayah harus menjaga Mamah dan juga kamu, itu juga salah satu resiko. Kamu gimana sih," Ucap Ayahnya.
"Iya sih bener juga ya, Yah," Ucap Jajang