Pernahkah Anda mendapat perlakuan kurang ramah atau galak, dari pedagang  pasar tradisional? Saya pernah. Sering malahan. Padahal saya bukan orang  jutek dan muka saya manis, lucu, ramah,  murah senyum. *mohon angguk-kan kepala tanda setuju pliiis, sekali ini saja, agar saya ba-ha-gi-ya*
Awalnya saya pikir kasalahan  100 persen ada dalam diri saya. Entah mimik muka atau bahasa tubuh saya yang kurang bersahabat, atau  menawar harga  terlalu rendah, atau jangan-jangan memang secara penampilan saya ini pantas dan layak dibentak-bentak? Hiks hiks, tangisan pilu.
Namun rasa bersalah itu hilang ketika saya berbagi kisah dengan beberapa teman. Mereka mengalami hal yang sama. Senasib. Â Ada rasa plong ketika tahu bahwa saya bukanlah satu-satunya korban.
Korban? Iya korban kegalakan pedagang, hehe. Â Yang membalas niat baik pembeli dengan sikap judes. Bukankah dalam sebuah transaksi jual beli, seharusnya posisi penjual dan pembeli berada dalam level yang sama? Â Karena ada proses simbiosis mutualisme di sini. Pedagang ingin dagangannya laku, pembeli butuh barang.
Tetapi di pasar tradisional, ketika sedang nahas bertemu penjual galak, maka pembeli seperti ada di posisi yang ( jauuuuh ) lebih rendah. Seolah-olah hanya kita lah yang  butuh mereka . Sehingga sikap nya cuek dan acuh tak acuh bahkan menjawab pertanyaan dengan kasar, ketus. Intinya, prinsip pembeli adalah raja, sulit ditemukan ketika bebelanja di toko / lapak dengan karakter penjual seperti ini.
Contoh kasus:
1. Ditegur , "Hai, mbak kalau nggak pengen beli, jangan berdiri di depan toko kami."
2. Ketika menawar,  dijawab  :Â
- Â Â Sebenarnya niat beli nggak sih? Nawar kok asal mangap aja.
- Â Â Situ punya uang nggak sih? Dari tadi nanya-nanya harga melulu.
- Â Â Kalau mau, Â ya segitu, nggak mau ya sudah, silahkan. ( Sambil tangannya memberi kode, pergi kau dari sini).
- Â Â Pengen harga murah, bikin aja sendiri / tanam aja sendiri, jangan beli di pasar.
- Â Nanya melulu, situ pembeli atau petugas survey, sih?
3. Dipaksa, ditarik-tarik  mampir ke lapak, dan dijamin enggak akan lolos dari lokasi,  sebelum kita beli dagangannya.
4. Ini juga sikap galak, dalam versi lain : pedagang tidak menjaga kepercayaan pembeli.
- Tidak jujur dalam timbangan.
- Mengoplos barang bagus dan jelek. Kita dipersilahkan memilih barang yang akan kita beli. Tetapi saat mereka memasukkan barang pilihan itu ke kantong plastik, ternyata dicampur dengan barang lain yang tidak kita pilih. Ada saja alasannya, timbangan kurang pas lah.., atau macam-macam modus lain.
Seorang teman, mengaku trauma dan kapok belanja ke pasar tradisional. Karena muka polos-nya sering menjadi sasaran tembak para pedagang galak. Â Sekedar diam berdiri melihat-lihat situasi pun kena semprot, apalagi jika berani menginjakkan kaki ke lapak dan melakukan tawar menawar. Dia takut kena semburan api,hihihi.
Kok kesannya, serem banget sih, suasana pasar tradisional?  Ah, nggak juga, kok. Karena sebenarnya, tidak semua padagang di pasar tradisional galak. Ada juga yang santun, halus tutur kata dan baik sikapnya.  Apalagi  jaman sekarang,  beberapa pemilik lapak  menyerahkan usaha  kepada generasi berikutnya : anak atau cucu.  Dampaknya, terdapat perubahan sikap / model pelayanan yang cukup drastis. Generasi baru ini biasanya, jauh lebih memanusiakan manusia (pembeli). Lebih ramah, bahkan mengesankan betapa butuhnya mereka akan kehadiran kita/pembeli.
Tetapi jumlah mereka belum banyak, belum mampu menghapus kesan pedagang galak di pasar tradisonal.
======================
Lalu apa yang membuat atau memicu munculnya sikap galak pedagang pasar tradisonal selama ini? Menurut saya :
a. Tingkat pendidikan atau kualitas SDM.
Dengan segala hormat , sorry to say, menyebut kualitas SDM menjadi salah satu faktor. Seperti kita tahu, kualitas SDM mempengaruhi pola pikir,       sikap seseorang dalam menghadapi permasalahan dan bersosialisasi. Termasuk melayani pembeli.
b. Kultur atau budaya dalam pasar yang keras.
Saya lahir dan tumbuh di sebuah rumah yang berada tepat di depan pasar tradisional skala  menengah, bukan pasar induk. Apa yang paling melekat dalam memori masa kecil, selain  kondisi fisik dan aktifitas jual beli di dalamnya? Ternyata, jawabannya adalah 'kebiasaan ibu-ibu pedagang pasar itu  bertengkar.'
Mungkin karena terlalu sering mereka berantem, terlalu keras suara amarah mereka, terlalu banyak hal -sepele- yang dapat menjadi bensin penyulut emosi mereka. Saat masih  kecil, saya melihat pertengkaran mbok-mbok bakul,  setiap hari.  Bisa lebih dari sekali dalam sehari. Baik oleh pelaku yang sama maupun ganti  pemain.
Mereka bisa bertengkar hebat, hanya karena ketika sama-sama menerima barang  drop-drop an dari mobil angkutan, lalu ada dagangannya ( buah,sayur dll.) tertindih barang milik lawan. Pecahlah perang!
Antar pedagang, bisa saling jambak-jambakan, karena penjual lain mengabulkan penawaran pembeli yang sebelumnya ditolak pihak lawan. Padahal  jika dipikir, bukankah pembeli tersebut berada dalam keadaan bebas,  free, tidak terikat negosiasi dengan pihak manapun,  karena pemilik lapak sebelumnya  menolak penawaran?  Tetapi logika semacam itu jauuuuuh,  entah keselip  dimana, pokoknya pemilik lapak yang  gagal  merayu pembeli itu bersungut-sungut lalu menyerang lawannya tanpa ampun.
Saya menduga tradisi main keras itu masih terjaga, atau setidakya tersisa di sudut-sudut pasar tradisional. Mereka merasa harus  fight untuk   survive, salah satu cara nya ya harus main keras. Karena mungkin hanya lapak itulah sumber pendapatan.Â
Belum lama ini di pasar induk, saya menyaksikan seorang  pedagang tempe baku pukul dengan pemilik toko gerabah. Penyebabnya, pemilik toko merasa penjual tempe makin merangsek masuk ke teras nya  ketika berjualan.
c. Mereka hidup dalam dunia  mereka sendiri
Ini jaman minimarket. Yang khas, pelayan minimarket sesibuk apapun dia, selalu menyapa dengan dengan : "selamat datang di ....(sebut nama retail), selamat berbelanja," Â kepada para pembeli.
Semua paham, itu adalah stratetgi pemasaran yang sengaja diterapkan. Seandainya para pedagang pasar tradisional yang selama ini galak ke pembeli,  ada waktu untuk menengok pola pelayananan a la  minimarket dan menerapkannya, maka wajah pasar tradisional, mungkin akan jauh lebih ramah.
===================
Ada dilema ketika kita ingin sekedar bernostalgia ke pasar tradisional, atau yang  lebih sosial oriented,  ingin memberdayakan para pedagang kecil di tengah gempuran peritel modern, tetapi ternyata sambutannya kurang enak. Butuh hati sekuat baja, hehehe lebay, untuk menerima perlakuan kurang baik para bakul galak.
Pemerintah sepertinya sedang gencar meningkatkan kualitas bangunan fisik pasar tradisonal. Satu persatu, dinaikkan status menjadi pasar tradisional modern. Tujuannya, menarik minat masyarakat untuk kembali berbelanja ke pasar tradisional dan  meningkatkan kenyamanan proses jual beli.
Namun mungkin masalah kualitas pelayanan  luput dari perhatian. Suasana "kebatinan" dalam komunikasi jual beli juga perlu diperbaiki, seiring dengan perbaikan sarana prasarana pasar.  Siapa yang bisa dan bertanggung jawab merubah kondisi ini?
* Tulisan ini pengalaman pribadi, tak kurang tak lebih. Â Bukan bermaksud menyudutkan pihak mana pun.
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI