Mohon tunggu...
eny mastuti
eny mastuti Mohon Tunggu... -

Ibu dua orang remaja. Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Pedagang Pasar Tradisional (Suka) Galak?

1 Desember 2017   17:14 Diperbarui: 1 Desember 2017   22:35 3744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kok kesannya, serem banget sih, suasana pasar tradisional?  Ah, nggak juga, kok.  Karena sebenarnya, tidak semua padagang di pasar tradisional galak. Ada juga yang santun, halus tutur kata dan baik sikapnya.  Apalagi  jaman sekarang,  beberapa pemilik lapak  menyerahkan usaha  kepada generasi berikutnya : anak atau cucu.  Dampaknya, terdapat perubahan sikap / model pelayanan yang cukup drastis. Generasi baru ini biasanya, jauh lebih memanusiakan manusia (pembeli). Lebih ramah, bahkan mengesankan betapa butuhnya mereka akan kehadiran kita/pembeli.

Tetapi jumlah mereka belum banyak, belum mampu menghapus kesan pedagang galak di pasar tradisonal.

======================

Lalu apa yang membuat atau memicu munculnya sikap galak pedagang pasar tradisonal selama ini? Menurut saya :

a. Tingkat pendidikan atau kualitas SDM.

Dengan segala hormat , sorry to say,  menyebut kualitas SDM menjadi salah satu faktor. Seperti kita tahu, kualitas SDM mempengaruhi pola pikir,             sikap seseorang dalam menghadapi permasalahan dan bersosialisasi. Termasuk melayani pembeli.

b. Kultur atau budaya dalam pasar yang keras.

Saya lahir dan tumbuh di sebuah rumah yang berada tepat di depan pasar tradisional skala  menengah, bukan pasar induk. Apa yang paling melekat dalam memori masa kecil, selain  kondisi fisik dan aktifitas jual beli di dalamnya? Ternyata, jawabannya adalah 'kebiasaan ibu-ibu pedagang pasar itu  bertengkar.'

Mungkin karena terlalu sering mereka berantem, terlalu keras suara amarah mereka, terlalu banyak hal -sepele- yang dapat menjadi bensin penyulut emosi mereka. Saat masih  kecil, saya melihat pertengkaran mbok-mbok bakul,  setiap hari.  Bisa lebih dari sekali dalam sehari. Baik oleh pelaku yang sama maupun ganti  pemain.

Mereka bisa bertengkar hebat, hanya karena ketika sama-sama menerima barang  drop-drop an  dari mobil angkutan, lalu ada dagangannya ( buah,sayur dll.) tertindih barang milik lawan. Pecahlah perang!

Antar pedagang, bisa saling jambak-jambakan, karena penjual lain mengabulkan penawaran pembeli yang sebelumnya ditolak pihak lawan. Padahal   jika dipikir, bukankah pembeli tersebut berada dalam keadaan bebas,  free,  tidak terikat negosiasi dengan pihak manapun,  karena pemilik lapak sebelumnya  menolak penawaran?  Tetapi logika semacam itu jauuuuuh,  entah keselip  dimana, pokoknya pemilik lapak yang  gagal   merayu pembeli itu bersungut-sungut lalu menyerang lawannya tanpa ampun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun