Sumber daya alam di Indonesia begitu beragam, salah satu yang kini sedang hangat diperbincangkan adalah energi baru dan terbarukan alias EBT di Indonesia. Melihat potensinya yang besar, Indonesia terus mengejar rasio penggunaan energi yang diklaim lebih ramah lingkungan tersebut.Â
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, total potensi EBT di Indonesia mencapai 417.800 MW yang terdiri dari potensi laut 17.900 MW, panas bumi 23.900 MW, bioenergi 32.600 MW, angin 60.600 MW, air 75.000 MW, dan surya 207.800 MW.Â
Namun dari potensi tersebut, realisasi penggunaan EBT di Indonesia baru sekitar 10.467 MW pada akhir tahun 2021 atau sekitar 11% dari target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2025 sebesar 23%. Pemerintah sendiri telah menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 dengan memperbesar porsi pembangkit EBT di Indonesia. Sedangkan target bauran EBT dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) adalah 23% pada tahun 2025.Â
Persentase target 2025 adalah 'bidikan antara' yang wajib dicapai sebelum menuju 'bidikan sesungguhnya', yakni EBT 31% pada tahun 2050. Jangankan berbicara mengenai target 2050, untuk mengejar target 2025 saja rasanya masih cukup jauh dari target. Lantas, mengapa terdapat selisih dari target realisasi penggunaan EBT tersebut?Â
Hal ini diamini oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana. Ia memaparkan bahwa presentase tersebut masih di bawah target RUEN, karena realitasnya kebutuhan energi EBT di Indonesia masih tidak setinggi dalam RUEN.
Ia belum bisa memastikan apakah bauran energi 23% pada 2025 bisa terealisasi atau tidak. Secara terang, ia mengatakan kalau kunci dari keberhasilan tersebut adalah 'mengerjakannya' di tahun ini dan akan melihat lagi apakah masih ada proyek yang terhambat atau tidak.Â
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengamati lambatnya pertumbuhan EBT di Indonesia dikarenakan, pertama, ketergantungan Indonesia pada energi fosil khususnya batubara di masa lampau yang membuat sistem energi terjebak dengan batubara. Kedua, Indonesia dengan PLN sebagai off-taker utama. Menurut Fabby, pengembangan energi terbarukan tergantung pada kemauan dan kesiapan PLN untuk membeli listrik dari pembangkit EBT.Â
Dalam implementasi EBT di Indonesia, peran pemerintah khususnya ESDM dinilai penting. Namun, menurut jurnal Ringkasan Permasalahan dan Tantangan Program Peningkatan Kontribusi Energi Baru dan Terbarukan dalam Bauran Energi Nasional yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Badan Keahlian Dewan DPR RI (2021), disebutkan bahwa pemerintah, khususnya ESDM sendiri malah melakukan kejanggalan.Â
Salah satunya, ada disharmonisasi regulasi yang diterbitkan Kementerian ESDM sendiri dengan regulasi yang bersifat lintas sektoral, salah satunya regulasi penetapan harga jual EBT. Hampir semua investor menggunakan data potensi yang dihasilkan oleh Kementerian ESDM sebagai sumber rujukan. Tapi masih ada masalah pada data potensi yang dimiliki oleh Pemerintah diantaranya data potensi EBT belum sepenuhnya mutakhir (BPK RI, 2020).
Masalah kebijakan dan regulasi dinilai penting karena sampai saat ini penetapan harga jual energi terbarukan, masalah perizinan, dan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah masih belum ditetapkan dengan baik. Selain itu, aspek akurasi data EBT yang menjadi sumber rujukan investor belum sepenuhnya canggih dan akurat sehingga belum optimal mendukung peningkatan investasi swasta di bidang EBT.Â
Aspek insentif dan pendanaan yang belum berjalan efektif juga perlu diperhitungkan, padahal hal ini berperan penting untuk meningkatkan investasi di bidang EBT. Instrumen pendanaan yang ada saat ini dinilai juga belum cukup efektif mengatasi kesulitan investor untuk mengakses pendanaan mengembangkan EBT. Komitmen pemerintah dalam memberikan dukungan anggaran atau non-anggaran untuk riset serta pengembangan EBT masih perlu ditingkatkan pula.
Diperlukan koordinasi secara proaktif antar lintas sektoral, baik pemerintah pusat, daerah, dan lembaga terkait payung hukum dan kebijakan kuat mengenai EBT. Selain itu, mengkaji dan mengkoordinasikan data EBT oleh stakeholder untuk menghasilkan data yang akurat dan andal, menyajikan data potensi awal dengan limitasinya secara komprehensif kepada investor melalui platform online perlu dilakukan oleh pemerintah.Â
'Pekerjaan rumah' ESDM tak berhenti di situ saja, urgensi skema insentif baru untuk mendorong investasi dan pengembangan infrastruktur EBT, misal subsidi bunga, pembebasan PPN jasa konstruksi hingga kemudahan perizinan. Butuh pula pengawasan dan monitoring serta evaluasi pada berbagai program EBT agar pelaksanaannya efektif dan hasil monev (monitoring & evaluasi) bisa dijadikan perbaikan berkelanjutan.Â
Indonesia memang sudah paham bahwa EBT berpotensi, namun sayangnya 'tugas rumah' di depan mata, sedangkan target 2025 tinggal sebentar lagi. Ke manakah peran pemerintah khususnya ESDM dalam menagani tugas rumah ini? Ke manakah ESDM selaku 'orangtua' bagi EBT yang merupakan 'anaknya'? Jangan sampai, EBT dianaktirikan, diambil secara paksa hanya untuk embel-embel energi keberlanjutan, namun kejelasan pengembangannya terabaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H