Mohon tunggu...
Nikolas Mauladitiantoro
Nikolas Mauladitiantoro Mohon Tunggu... Lainnya - hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan

Seorang introvert pecinta kuliner dan terkadang mengamati permasalahan yang ada di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Keberadaan EBT di Indonesia Bagai Dianaktirikan?

28 Oktober 2022   14:31 Diperbarui: 28 Oktober 2022   14:40 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber daya alam di Indonesia begitu beragam, salah satu yang kini sedang hangat diperbincangkan adalah energi baru dan terbarukan alias EBT di Indonesia. Melihat potensinya yang besar, Indonesia terus mengejar rasio penggunaan energi yang diklaim lebih ramah lingkungan tersebut. 

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, total potensi EBT di Indonesia mencapai 417.800 MW yang terdiri dari potensi laut 17.900 MW, panas bumi 23.900 MW, bioenergi 32.600 MW, angin 60.600 MW, air 75.000 MW, dan surya 207.800 MW. 

Namun dari potensi tersebut, realisasi penggunaan EBT di Indonesia baru sekitar 10.467 MW pada akhir tahun 2021 atau sekitar 11% dari target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2025 sebesar 23%. Pemerintah sendiri telah menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 dengan memperbesar porsi pembangkit EBT di Indonesia. Sedangkan target bauran EBT dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) adalah 23% pada tahun 2025. 

Persentase target 2025 adalah 'bidikan antara' yang wajib dicapai sebelum menuju 'bidikan sesungguhnya', yakni EBT 31% pada tahun 2050. Jangankan berbicara mengenai target 2050, untuk mengejar target 2025 saja rasanya masih cukup jauh dari target. Lantas, mengapa terdapat selisih dari target realisasi penggunaan EBT tersebut? 

Hal ini diamini oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana. Ia memaparkan bahwa presentase tersebut masih di bawah target RUEN, karena realitasnya kebutuhan energi EBT di Indonesia masih tidak setinggi dalam RUEN.

Ia belum bisa memastikan apakah bauran energi 23% pada 2025 bisa terealisasi atau tidak. Secara terang, ia mengatakan kalau kunci dari keberhasilan tersebut adalah 'mengerjakannya' di tahun ini dan akan melihat lagi apakah masih ada proyek yang terhambat atau tidak. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengamati lambatnya pertumbuhan EBT di Indonesia dikarenakan, pertama, ketergantungan Indonesia pada energi fosil khususnya batubara di masa lampau yang membuat sistem energi terjebak dengan batubara. Kedua, Indonesia dengan PLN sebagai off-taker utama. Menurut Fabby, pengembangan energi terbarukan tergantung pada kemauan dan kesiapan PLN untuk membeli listrik dari pembangkit EBT. 

Dalam implementasi EBT di Indonesia, peran pemerintah khususnya ESDM dinilai penting. Namun, menurut jurnal Ringkasan Permasalahan dan Tantangan Program Peningkatan Kontribusi Energi Baru dan Terbarukan dalam Bauran Energi Nasional yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Badan Keahlian Dewan DPR RI (2021), disebutkan bahwa pemerintah, khususnya ESDM sendiri malah melakukan kejanggalan. 

Salah satunya, ada disharmonisasi regulasi yang diterbitkan Kementerian ESDM sendiri dengan regulasi yang bersifat lintas sektoral, salah satunya regulasi penetapan harga jual EBT. Hampir semua investor menggunakan data potensi yang dihasilkan oleh Kementerian ESDM sebagai sumber rujukan. Tapi masih ada masalah pada data potensi yang dimiliki oleh Pemerintah diantaranya data potensi EBT belum sepenuhnya mutakhir (BPK RI, 2020).

Masalah kebijakan dan regulasi dinilai penting karena sampai saat ini penetapan harga jual energi terbarukan, masalah perizinan, dan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah masih belum ditetapkan dengan baik. Selain itu, aspek akurasi data EBT yang menjadi sumber rujukan investor belum sepenuhnya canggih dan akurat sehingga belum optimal mendukung peningkatan investasi swasta di bidang EBT. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun