Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sebuah Ironi: Sekolah Elit, Karakter Sulit. Sekolah Internasional dan Pendidikan Karakter

20 Februari 2024   12:03 Diperbarui: 20 Februari 2024   13:12 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya saja, di dalam praktiknya, sekolah internasional memang memiliki sisi-sisi gelap. Seseorang yang mengaku sebagai salah seorang siswa internasional menceritakan pengalamannya selama bersekolah:

"hadeh kalo SMA dulu yah, jikalau ada yang beda dikit lu kena bully dari teman sekelas dan begonya gw dlu suka ceplas ceplos waktu ngomong ga disaring. Jadi orang terlalu berterus terang dan mereka itu ga suka. gw pernah ngalamin yg namany tas gw diiket ke kursi sampe susah banget buka iketannya lalu aqua gw dibuang ke tong sampah, siswa siswinya udah main geng" gitu jadi ya pande' lah berkawan, kadang mau masuk geng mereka aja susah sekali yah mungkin karena kita orang baru yah. FYI gw pindahnya pas SMA dan alami culture shock banget dari yg sklh dimana awalnya banyak temen malah sedikit temen, bisa diitung jari banget malah di sekolah ini. temen' yg autism juga disuruh ini itu atau dijadiin candaan, parah banget. anaknya yang kena autism itu paling susah dapat temen menurut gw sih. pelajarannya berat cuy belum lg abis sekolah harus les, pokoknya jenuh bgt sampe gw nya stress. murid" juga cendrung egois sih gw blg, pintar untuk diri sendiri aja. lu byk tmn kalo lu rich, tampang ok atau lu nya pintar. sad but itu faktanya." (Sumber).

Sebagai orang yang memiliki pengalaman mengajar di sekolah internasional, saya bisa mengamini beberapa hal dari cerita anak ini. Karakter para siswa memang menjadi keprihatinan yang cukup masif. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan utama, membuat siswa mampu berkomunikasi dengan siswa yang berasal dari negara serta budaya yang berbeda. Ini membuat mereka memiliki pandangan yang lebih terbuka. Selain itu, wawasan global mereka juga membuat para siswa mampu mengenai isu-isu dunia.

Namun begitu, siswa-siswa yang terpapar dengan pola pikir 'internasional' ini memiliki kecenderungan karakter yang egoistik. Pribadi-pribadi siswa cenderung kebarat-baratan karena salah menginterpretasikan kata 'global' itu: merujuk Eropa dan Amerika sebagai pusat peradaban, moral, pendidikan, budaya, pengetahuan dan sains, serta teknologi. Sebagai akibatnya siswa internasional memiliki kecenderungan mengadopsi sifat keterbukaan yang kebablasan seperti cara berbicara dan berperilaku yang bebas. Murid juga mengembangkan sifat individualisme yang menonjol sehingga kurang peka dengan hal-hal di sekitarnya. Ini saya alami selama mengajar mata pelajaran Global Perspectives, dimana siswa mengalami kesulitan untuk memahami perspektif dan isu-isu lokal atau nasional di negara mereka sendiri. Masalah lain adalah kegamangan identitas budaya sehingga siswa juga kesulitan menakar nilai moral, tindakan mana yang bisa diterima atau tidak dan apa dasarnya. Semuanya hampir-hampir di arahkan ke pemikiran bebas dengan logika yang juga sebebas-bebasnya digunakan.

Tidak hanya itu, keadaan ekonomi keluarga yang baik membuat tidak sedikti para siswa mengembangkan rasa superior dan penting dibanding orang lain. Ini membuat siswa menjadi mean alias tega dan jahat. Kasus perundungan yang terjadi, bercermin pada Farrel Legolas dan teman-teman gengnya, adalah hasil dari rasa superioritas ini. Merasa kaya dan terkenal membuat mereka mampu melakukan apapun yang mereka mau. Membeli barang-barang mahal, bahkan memaksakan keinginan dengan menggunakan kekuasaan jabatan atau status orang tua mereka.

Pendidikan karakter di sekolah internasional sepertinya memang bisa dikatakan tak dilirik sama sekali. Beban guru yang harus fokus memberikan beragam materi dimana kelak murid-murid harus mengikuti ujian bertaraf internasional, hampir tidak memungkinkan bagi sekolah untuk memberikan pendidikan karakter kepada siswa-siswanya.

Masalah tata krama dan kesopanan mungkin memang praktiknya berbeda-beda di setiap budaya, tetapi tetap memiliki konsep yang sama. Hal-hal lain seperti kedisiplinan, rasa hormat, tanggung jawab, atau empati menjadi keprihatinan di dalam wilayah pendidikan sekolah internasional.

Pendidikan karakter dapat didefiniskan sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai karakter tertentu kepada peserta didik yang di dalamnya terdapat komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, serta tindakan untuk melakukan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter sangat erat hubunganya dengan pendidikan moral dimana tujuannya adalah untuk membentuk dan melatih kemampuan individu secara terus-menerus guna penyempurnaan diri ke arah yang lebih baik (Sumber). Secara umum fungsi pendidikan ini adalah untuk membentuk karakter seorang peserta didik sehingga menjadi pribadi yang bermoral, berakhlak mulia, bertoleran, tangguh, dan berperilaku baik.

Pendidikan karakter sama sekali tidak bertentangan dengan konsep dan ide dasar pendidikan di sekolah internasional. Tujuan pendidikan karakter juga adalah untuk membangun dan memperkuat perilaku masyarakat yang multikultur serta membangun dan meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam hubungan internasional.

Siswa sekolah internasional sesungguhnya memiliki kecacatan yang memprihatinkan dalam bidang karakter ini. seperti dapat disepakati bersama bahwa siswa internasional kurang disiplin, kurang memiliki tata krama dan kesopanan yang diperlukan dalam komunikasi antar budaya dan generasi, serta kurang memiliki karakter yang baik dan hormat terhadap orang lain. Pengaruh kebebasan berpikir dan bertindak, serta kembali pada latar belakang ekonomi sepertinya menjadi faktor utama dalam masalah ini.

Menjadi sebuah ironi ketika sebuah sekolah mahal tidak memiliki pendidikan karakter yang cukup: sekolah elit, karakter sulit. Biaya sekolah yang tinggi itu harusnya ikut mempertimbangkan manpower atau sumber daya manusia yang bertugas untuk memberikan pendidikan karakter bagi para siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun