Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sebuah Ironi: Sekolah Elit, Karakter Sulit. Sekolah Internasional dan Pendidikan Karakter

20 Februari 2024   12:03 Diperbarui: 20 Februari 2024   13:12 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://static.imoney.my/articles/wp-content/uploads/2017/01/international-school-1.jpg

Baru-baru ini ada sebuah berita memprihatinkan yang kembali mencoreng dunia pendidikan di Indonesia. Kasus perundungan yang terjadi terhadap salah satu siswa Binus School Serpong yang dilakukan oleh teman-temannya yang merupakan geng sekolah (Sumber). Diberitakan bahwa seorang siswa Binus School Serpong, Tangerang Selatan, masih dirawat di rumah sakit usai diduga dirundung (bully) oleh seniornya yang merupakan geng sekolah. Polisi menyebut ada luka memar hingga bakar di tubuh korban (Sumber).   

Ada beberapa hal yang menjadi perhatian di dalam kasus perundungan yang viral di berbagai platform media dan media sosial ini. Pertama, kasus perundungan ini ditengarai melibatkan anak selebritas Vincent Rompies. Kedua, perundungan ini dilakukan oleh murid-murid sebuah sekolah internasional.

Lebih lanjut diberitakan pula bahwa putra Vincent Rompies yang bernama Farrel Legolas tersebut dikabarkan telah dikeluarkan oleh sekolah. Berita ini diungkap oleh salah seorang pengguna media sosial X @strowbriee yang mengaku sebagai teman dari korban. Si pengguna media sosial X ini juga meminta kepada publik agar tidak hanya memojokkan anak Vincent, melainkan juga para pelaku lainnya agar mendapatkan sanksi yang sama. Ia membeberkan bahwa bukan hanya Farrel Legolas yang merupakan anak seorang tokoh terkenal, pelaku lain juga merupakan anak dari kalangan orang-orang penting seperti jendral dan pemilik televisi (Sumber).

Berita viral ini kemudian membuat publik menyasar sisi gelap sekolah internasional yang selama ini memiliki imej berbeda. Mungkin dahulu, sekolah internasional lebih dikenal publik sebagai institusi pendidikan yang mahal tetapi menghasilkan siswa-siswa yang berprestasi. Ini terbukti dari bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahasa pengantar serta banyak siswa sekolah internasional yang melanjutkan pendidikan tingginya di luar negeri.

Kasus perundungan memang banyak terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat sepanjang tahun 2023 terjadi 30 kasus perundungan di satuan pendidikan. Jumlah ini meningkat sembilan kasus dari tahun sebelumnya (Sumber). Imej sekolah internasional sebagai sekolah yang 'aman' karena terkesan tertutup dan ekskusif, serta terkenal karena stereotip dan label 'wah' lainnya, kini ternyata memberikan banyak pertanyaan.

'Sisi gelap' sekolah internasional mulai diperbincangkan oleh publik, terutama yang tidak mengetahui secara langsung bagaimana keadaan di dalam institusi satuan pendidikan tersebut.

Sekolah Internasional adalah sekolah yang mendukung pendidikan internasional dalam lingkungan internasional. Biasanya sekolah-sekolah internasional menerapkan beberapa kurikulum berstandar internasional pula seperti International Baccalaureate (IB), Cambridge International Examinations atau Edexcel. Maka penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan bahasa utama adalah sebuah keharusan.

Di Indonesia sendiri, sesuai Permendikbud Nomor 31 tahun 2014, sekolah internasional telah berganti nama menjadi Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK), yang mana satuan pendidikan tersebut diselenggarakan atau dikelola atas dasar kerja sama antara Lembaga Pendidikan Asing (LPA) yang telah terakreditasi atau diakui di negaranya dengan lembaga pendidikan Indonesia.

Menurut Mary Hayden dalam bukunya yang berjudul "Introduction to International Education", konsep pendidikan internasional sebenarnya cukup luas, dan termasuk sekolah-sekolah yang mengeluarkan international diploma atau program serifikat. Tujuan dari pendidikan internasional ini adalah untuk mendidik siswa yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang beragam untuk memiliki nilai-nilai umum dan standar warga dunia. Selain itu untuk memahami budaya berbeda dengan toleransi, menjadi peka terhadap masalah-masalah global, berkontribusi terhadap kedamamaian dunia, dan memiliki pemikiran serta pemahaman internasional.

Tujuan ini memang mulia dan konsep pendidikan serta sekolah internasional sungguh dapat dipahami. Dunia yang luas dan berkembang pesat seperti sekarang ini telah dibebani dengan beragam isu dan masalah. Oleh sebab itu diperlukan sosok-sosok yang memahami dunia dengan segala perbedaannya sehingga perspektif atau pandangan mereka dapat digunakan untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

Hanya saja, di dalam praktiknya, sekolah internasional memang memiliki sisi-sisi gelap. Seseorang yang mengaku sebagai salah seorang siswa internasional menceritakan pengalamannya selama bersekolah:

"hadeh kalo SMA dulu yah, jikalau ada yang beda dikit lu kena bully dari teman sekelas dan begonya gw dlu suka ceplas ceplos waktu ngomong ga disaring. Jadi orang terlalu berterus terang dan mereka itu ga suka. gw pernah ngalamin yg namany tas gw diiket ke kursi sampe susah banget buka iketannya lalu aqua gw dibuang ke tong sampah, siswa siswinya udah main geng" gitu jadi ya pande' lah berkawan, kadang mau masuk geng mereka aja susah sekali yah mungkin karena kita orang baru yah. FYI gw pindahnya pas SMA dan alami culture shock banget dari yg sklh dimana awalnya banyak temen malah sedikit temen, bisa diitung jari banget malah di sekolah ini. temen' yg autism juga disuruh ini itu atau dijadiin candaan, parah banget. anaknya yang kena autism itu paling susah dapat temen menurut gw sih. pelajarannya berat cuy belum lg abis sekolah harus les, pokoknya jenuh bgt sampe gw nya stress. murid" juga cendrung egois sih gw blg, pintar untuk diri sendiri aja. lu byk tmn kalo lu rich, tampang ok atau lu nya pintar. sad but itu faktanya." (Sumber).

Sebagai orang yang memiliki pengalaman mengajar di sekolah internasional, saya bisa mengamini beberapa hal dari cerita anak ini. Karakter para siswa memang menjadi keprihatinan yang cukup masif. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan utama, membuat siswa mampu berkomunikasi dengan siswa yang berasal dari negara serta budaya yang berbeda. Ini membuat mereka memiliki pandangan yang lebih terbuka. Selain itu, wawasan global mereka juga membuat para siswa mampu mengenai isu-isu dunia.

Namun begitu, siswa-siswa yang terpapar dengan pola pikir 'internasional' ini memiliki kecenderungan karakter yang egoistik. Pribadi-pribadi siswa cenderung kebarat-baratan karena salah menginterpretasikan kata 'global' itu: merujuk Eropa dan Amerika sebagai pusat peradaban, moral, pendidikan, budaya, pengetahuan dan sains, serta teknologi. Sebagai akibatnya siswa internasional memiliki kecenderungan mengadopsi sifat keterbukaan yang kebablasan seperti cara berbicara dan berperilaku yang bebas. Murid juga mengembangkan sifat individualisme yang menonjol sehingga kurang peka dengan hal-hal di sekitarnya. Ini saya alami selama mengajar mata pelajaran Global Perspectives, dimana siswa mengalami kesulitan untuk memahami perspektif dan isu-isu lokal atau nasional di negara mereka sendiri. Masalah lain adalah kegamangan identitas budaya sehingga siswa juga kesulitan menakar nilai moral, tindakan mana yang bisa diterima atau tidak dan apa dasarnya. Semuanya hampir-hampir di arahkan ke pemikiran bebas dengan logika yang juga sebebas-bebasnya digunakan.

Tidak hanya itu, keadaan ekonomi keluarga yang baik membuat tidak sedikti para siswa mengembangkan rasa superior dan penting dibanding orang lain. Ini membuat siswa menjadi mean alias tega dan jahat. Kasus perundungan yang terjadi, bercermin pada Farrel Legolas dan teman-teman gengnya, adalah hasil dari rasa superioritas ini. Merasa kaya dan terkenal membuat mereka mampu melakukan apapun yang mereka mau. Membeli barang-barang mahal, bahkan memaksakan keinginan dengan menggunakan kekuasaan jabatan atau status orang tua mereka.

Pendidikan karakter di sekolah internasional sepertinya memang bisa dikatakan tak dilirik sama sekali. Beban guru yang harus fokus memberikan beragam materi dimana kelak murid-murid harus mengikuti ujian bertaraf internasional, hampir tidak memungkinkan bagi sekolah untuk memberikan pendidikan karakter kepada siswa-siswanya.

Masalah tata krama dan kesopanan mungkin memang praktiknya berbeda-beda di setiap budaya, tetapi tetap memiliki konsep yang sama. Hal-hal lain seperti kedisiplinan, rasa hormat, tanggung jawab, atau empati menjadi keprihatinan di dalam wilayah pendidikan sekolah internasional.

Pendidikan karakter dapat didefiniskan sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai karakter tertentu kepada peserta didik yang di dalamnya terdapat komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, serta tindakan untuk melakukan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter sangat erat hubunganya dengan pendidikan moral dimana tujuannya adalah untuk membentuk dan melatih kemampuan individu secara terus-menerus guna penyempurnaan diri ke arah yang lebih baik (Sumber). Secara umum fungsi pendidikan ini adalah untuk membentuk karakter seorang peserta didik sehingga menjadi pribadi yang bermoral, berakhlak mulia, bertoleran, tangguh, dan berperilaku baik.

Pendidikan karakter sama sekali tidak bertentangan dengan konsep dan ide dasar pendidikan di sekolah internasional. Tujuan pendidikan karakter juga adalah untuk membangun dan memperkuat perilaku masyarakat yang multikultur serta membangun dan meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam hubungan internasional.

Siswa sekolah internasional sesungguhnya memiliki kecacatan yang memprihatinkan dalam bidang karakter ini. seperti dapat disepakati bersama bahwa siswa internasional kurang disiplin, kurang memiliki tata krama dan kesopanan yang diperlukan dalam komunikasi antar budaya dan generasi, serta kurang memiliki karakter yang baik dan hormat terhadap orang lain. Pengaruh kebebasan berpikir dan bertindak, serta kembali pada latar belakang ekonomi sepertinya menjadi faktor utama dalam masalah ini.

Menjadi sebuah ironi ketika sebuah sekolah mahal tidak memiliki pendidikan karakter yang cukup: sekolah elit, karakter sulit. Biaya sekolah yang tinggi itu harusnya ikut mempertimbangkan manpower atau sumber daya manusia yang bertugas untuk memberikan pendidikan karakter bagi para siswa.

Perbedaan latar belakang budaya para murid harusnya saling diperkenalkan dan diperkuat, bukan malah menyeragamkan pola pikir, pandangan dan kebiasaan siswa. Bisa-bisa sekolah internasional dituduh ikut menyumbangkan kemerosotan moral pada generasi muda. Seperti pada penelitian pascasarjana yang dilakukan oleh Oktariyan M., Adiman dan Amika Wardana tahun 2020 berjudul "Pembentukan Karakter Siswa di SMA Internasional Budi Mulia Dua", dijelaskan bahwa saat ini kualitas nilai-nilai moral pada generasi muda menuntut diadakannya sebuah konsep pendidikan yang berfokus pada persoalan karakter. Penelitan yang dilakukan pada sebuah sekolah internasional ini menunjukkan bahwa ada faktor penghambat tipikal pembentukan karakter siswa-siswa di SMA Internasional Budi Mulia. Faktor pertama adalah faktor internal dari siswa itu sendiri, dimana keberagaman karakter siswa yang dilandasi latar belakang budaya membuat siswa susah diatur. Ini masuk di dalam ranah disiplin dan rasa hormat. Kedua, faktor eksternal yang berasal dari lingkungan bergaul, perbedaan budaya sekolah dibanding sekolah lainnya, kurangnya kontrol guru dan orang tua, serta pengaruh media sosial.

Sebagai akibatnya, sama seperti yang telah saya jelaskan di atas, sekolah internasional yang memang memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan sekolah swasta dan negeri di Indonesia, mempunyai kecenderungan memiliki siswa yang kurang memiliki pendidikan karakter. Kesadaran akan hal ini sebaiknya memang harus segera diatasi bila tidak ingin masalah karakter para siswa akan terus berlanjut di masa depan.

Farrel Legolas beserta gengnya (bernama Geng Tai), serta curhatan salah satu pengguna internet yang telah saya tuliskan di sini, hanya merupakan permukaan paling luar saja dari sisi gelap sekolah internasional dan kurangnya pendidikan karakter di satuan pendidikan tersebut. Jangan sampai sekolah internasional menjadi momok pendidikan Indonesia dikarenakan perbedaan pola ajar dan pendidikannya, serta menjadi bulan-bulanan permasalah karakter siswa dan remaja dalam hal kedisiplinan, kesopanan dan tata krama, rasa hormat, empati dan lain sebagainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun