Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Normalisasi Politik di Pagi Hari

24 Oktober 2023   14:22 Diperbarui: 24 Oktober 2023   16:31 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi politik (KOMPAS/HANDINING)

"Pagi-pagi sudah bahas politik aja," ujar salah satu rekan kerja saya ketika saya sedang membahas tentang isu capres-cawapres di suatu pagi, dengan rekan saya yang lain.

Sembari menyantap sarapan di tempat kerja, sebenarnya sudah menjadi pemandangan biasa dimana percakapan di pagi hari dimulai dari beragam topik dan isu. Dari topik sederhana untuk bahan lelucon dan bercandaan, isu-isu tergres di tempat kerja, sampai ke gosip nasional atau internasional. 

Namun, tidak sedikit orang yang risih, gerah dan bahkan terganggu ketika pembicaraan bertema politik dibicarakan dalam suasana pagi, suasana santai dimana hari akan segera dimulai. Semua orang sibuk memulai hari dengan secangkir kopi, sarapan, atau mempersiapkan berkas-berkas untuk pekerjaan sepanjang hari ini.

Pembicaraan dengan tema politik juga hampir selalu dihindari oleh banyak pihak. Tidak sedikit yang mengakui terang-terangan bahwa tidak hanya mereka menghindari politik, mereka juga benci semua hal yang berhubungan dengannya. 

Politik dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu, bahkan kotor. Di sisi yang lain, tidak sedikit yang meletakkan politik di tempat tertinggi di kehidupan mereka. Tiada hari tanpa politik.

Alasan mengapa politik seakan menjadi suatu hal yang irritating dan dihindari, sebenarnya memang tak terlepas dari proses politik di Indonesia. 

Di masa Orde Baru, politik seperti menjadi satu dan melebur bersama pemerintahan. Politik adalah kekuasaan pemerintah. Pandangan masyarakat terhadap pemerintah dan penguasa saat itu, apakah baik ataupun buruk, merupakan pandangan masyarakat terhadap politik itu sendiri.

Sumber: liputan6.com
Sumber: liputan6.com

Setelah melewati Orde Baru, ternyata meski angin segar meniupkan aroma harapan demokrasi, nyatanya masih banyak tindakan tak terpuji dari golongan politisi yang mengecewakan masyarakat. 

Suara rakyat yang digunakan untuk menduduk tokoh-tokoh tertentu, partai-partai tertentu, menghasilkan pemerintahan yang tidak amanah, pejabat yang korup, dan sistem serta penegakan hukum yang compang-camping.

Bahkan, sistem demokrasi Pancasila di Indonesia terus-menerus dilukai dengan praktik proses politik yang melibatkan kefanatikan terhadap agama, pemujaan satu tokoh dan penghinaan terhadap tokoh yang lain, serta identitas budaya dan kedaerahan yang kental sehingga menimbulkan kesan rasisme.

Rentetan peristiwa politik tersebut tentu saja membawa bangsa ini pada sketisisme. Pancasila tidak lagi dianggap sebagai dasar dari segala nilai serta ideologi bangsa. 

Masyarakat yang tidak suka politik akan terus-menerus menghindar dari keterlibatan mereka di dalam pemilu, terus berkomentar negatif dan di sisi lain terus menyelahkan keadaan berbangsa dan bernegara. Mereka menjadi acuh, tetapi melakukan tindakan kontradiktif, yaitu kerap menghina atau mengejek peristiwa-peristiwa politik.

Mereka yang sangat terpengaruh oleh politik menggunakan kesempatan ini untuk mendulang keuntungan berkuasa. Yang lainnya masih tetap sibuk memberikan politik nama jelek dan citra buruk, sehingga tidak tercapai hubungan yang baik melalui politik.

Ketidakpahaman masyarakat kita terhadap politik ditambah pengalaman traumatis bangsa, skeptisisme massal, dan terus-menerus dibombardir oleh aktifitas politik yang lagi-lagi masih belum membaik, adalah alasan mengapa perbincangan dengan tema politik di pagi hari tidak wajar apalagi normal.

Padahal, politik sejatinya tidak jauh dari kehidupan manusia. Bahkan politik pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang berkaitan dengan manusia yang selalu hidup bermasyarakat. 

Menurut Abdulkadir B. Namboo dan Muhammad Rusdiyanto Puluhuluwa dalam sebuah artikel penelitian mereka berjudul "Memahami Tentang Beberapa Konsep Politik (Suatu Telaah dari Sistem Politik", karena manusia pada kodratnya adalah mahluk sosial, maka politik hadir sebagai proses perkembangan manusia itu sendiri.

Awalnya, kata politik berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa Yunani politicos yang berarti, "berhubungan dengan masyarakat". Sedangkan di dalam bahasa Inggris, politic berarti "acting or judging wisely, well judged, prudent." 

Istilah politik ini kemudian diserap dan berkembang sedemikian rupa di dalam bahasa Indonesia sehingga mempunyai tiga arti. 

Pertama, kebijaksanaan, siasat dsb. mengenai pemerintahan suatu negara terhadap negara lain. Kedua, tipu muslihat atau kelicikan. Ketiga, adalah disiplin ilmu, yaitu ilmu politik itu sendiri.

Disini, bisa diketahui bahwa memang politik sangat diperlukan di dalam kehidupan manusia yang sudah mengenal pemerintahan, membentuk bangsa dan negara. Kita tidak bisa menghindar dari politik, dan memang tidak boleh. Politik menunjukkan bahwa manusia telah beradab, mampu mengetahui permasalahan sosial dan komunitas, mencari cara untuk menyelesaikannya dan hidup dalam keselarasan.

Tidak perlu jauh-jauh, saya akan mencoba menggambarkan politik secara luas tetapi di dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti definisi politic: acting or judging wisely, well-judged, prudent, politik hadir di dalam kehidupan kita sehari-hari. Bila misalnya saja kita bermasalah dengan tetangga yang menyebalkan, tukang penggosip dan ghibah, bahkan memfitnah, maka kita memerlukan cara untuk meresponnya. 

Beberapa orang dengan lantang dan berani langsung saja mendatangi sang tetangga, memarahinya, dan sengaja menantangnya untuk menyelesaikan masalah. Yang lainnya mungkin akan mencari cara yang lebih bijak, terukur dan dengan resiko yang lebih kecil, yaitu melaporkan kepada Pak RT untuk mendapatkan solusi yang terbaik. Mungkin orang tersebut akan menuntut Pak RT untuk melakukan sebuah tindakan tegas berupa teguran atau bahkan peringatan.

Contoh tersebut merupakan politik tetangga dalam menyelesaikan masalah.

Namun begitu, tidak perlu harus ada masalah untuk hadirnya politik. Bahkan untuk memutuskan membeli rumah, kendaraan, menawar barang di pasar, atau menentukan sekolah yang tepat untuk anak, semua melibatkan politik. Politik adalah kebijaksanaan dalam berpikir dan mengambil keputusan. Nah, bila setting politik dibawa ke ranah nasional, maka politik yang melibatkan partai, suara, pemilihan umum, perdebatan, sistem pemerintahan, dan sebagainya itulah yang terjadi.

Tentu, tidak kerapkali politik menjadi ajang kelicikan, kesewang-wenangan, ketidakadilan, dan hal-hal buruk nan negatif lainnya. Lagi-lagi, ini alami dalam kehidupan manusia yang serba sosial. Namun begitu, bukan tidak mungkin politik dapat dilaksanakan dengan cara normal, wajar, bahkan cerdas dan masuk akal.

Sudah banyak contoh secara global dimana politik dan proses politik melibatkan masyarakat secara aktif dan menghasilkan keputusan politik yang solutif, bermanfaat, serta berada di pihak masyarakat. Menurut saya, ini karena politik adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat yang juga sudah cerdas.  

Harusnya, berbicara politik tak ubahnya seperti berbicara mengenai klub sepakbola favorit dan pertandingan sepakbola kemarin malam. Berbicara politik bisa dibandingkan ketika dua orang sedang membahas siapa grup idol K-Pop mereka yang terbaik, dan mengapa. 

Berbicara politik sama saja dengan berbagi film atau musik favorit. Memang, kerapkali ada pertentangan, tetapi hanya pada taraf ide dan gagasan, bukan fisik. Bila ditambahkan dengan kedewasaan pemikiran dan pengetahuan, maka perbincangan politik akan menjadi suatu hal yang wajar, tetapi sama pentingnya dengan tema-tema lain. Bila ghibah saja bisa diterima, mengapa membahas politik tidak bisa dinormalisasi?

Dengan begini, masyarakat Indonesia dapat membangun kecerdasan politik sehingga semua orang menjadi awas dan melek politik. Lalu, apa keuntungannya bila politik menjadi hal yang biasa saja dan normal? Artinya, negara ini akan mendapatkan pemimpin yang dihasilkan dari budaya melek politik itu sendiri. Kita tidak akan terus-menerus dihadapkan dengan politik identitas, fanatisme agama yang berlebihan, chauvinisme dan sifat kedaerahan bahkan sampai ke separatisme, atau ditakuti oleh budaya serta pola pikir liberalisme serta asing dan kebarat-baratan.

Ketika ingin memilih diantara Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto atau Anies Baswedan, kita tidak perlu resah dan ketakutan karena alasan-alasan primordial seperti latar belakang agama, ideologi atau pemujaan penokohan belaka, melainkan pada perdebatan cerdas seperti ide, rekam jejak, rencana dan solusi nyata. 

Bila hasilnya juga didapatkan kelak, tidak ada yang terbawa perasaan alias baper, dan menanggapinya dengan dewasa dan cerdas. Tidak perlu melanjutkan permusuhan terus-menerus karena masalah politik, sekali lagi harusnya menjadi hal yang biasa dan normal.

Maka, harusnya sungguh, sudah saatnya kita menormalisasi obrolan politik di pagi hari sembari menyesap secangkir kopi. Sama seperti membahas gosip artis sembari mencuci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun