"Pagi-pagi sudah bahas politik aja," ujar salah satu rekan kerja saya ketika saya sedang membahas tentang isu capres-cawapres di suatu pagi, dengan rekan saya yang lain.
Sembari menyantap sarapan di tempat kerja, sebenarnya sudah menjadi pemandangan biasa dimana percakapan di pagi hari dimulai dari beragam topik dan isu. Dari topik sederhana untuk bahan lelucon dan bercandaan, isu-isu tergres di tempat kerja, sampai ke gosip nasional atau internasional.Â
Namun, tidak sedikit orang yang risih, gerah dan bahkan terganggu ketika pembicaraan bertema politik dibicarakan dalam suasana pagi, suasana santai dimana hari akan segera dimulai. Semua orang sibuk memulai hari dengan secangkir kopi, sarapan, atau mempersiapkan berkas-berkas untuk pekerjaan sepanjang hari ini.
Pembicaraan dengan tema politik juga hampir selalu dihindari oleh banyak pihak. Tidak sedikit yang mengakui terang-terangan bahwa tidak hanya mereka menghindari politik, mereka juga benci semua hal yang berhubungan dengannya.Â
Politik dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu, bahkan kotor. Di sisi yang lain, tidak sedikit yang meletakkan politik di tempat tertinggi di kehidupan mereka. Tiada hari tanpa politik.
Alasan mengapa politik seakan menjadi suatu hal yang irritating dan dihindari, sebenarnya memang tak terlepas dari proses politik di Indonesia.Â
Di masa Orde Baru, politik seperti menjadi satu dan melebur bersama pemerintahan. Politik adalah kekuasaan pemerintah. Pandangan masyarakat terhadap pemerintah dan penguasa saat itu, apakah baik ataupun buruk, merupakan pandangan masyarakat terhadap politik itu sendiri.
Setelah melewati Orde Baru, ternyata meski angin segar meniupkan aroma harapan demokrasi, nyatanya masih banyak tindakan tak terpuji dari golongan politisi yang mengecewakan masyarakat.Â
Suara rakyat yang digunakan untuk menduduk tokoh-tokoh tertentu, partai-partai tertentu, menghasilkan pemerintahan yang tidak amanah, pejabat yang korup, dan sistem serta penegakan hukum yang compang-camping.
Bahkan, sistem demokrasi Pancasila di Indonesia terus-menerus dilukai dengan praktik proses politik yang melibatkan kefanatikan terhadap agama, pemujaan satu tokoh dan penghinaan terhadap tokoh yang lain, serta identitas budaya dan kedaerahan yang kental sehingga menimbulkan kesan rasisme.