Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Konoha dan Wakanda: Ketidakacuhan Berbalut Skeptisisme

12 Oktober 2023   21:21 Diperbarui: 14 Oktober 2023   16:57 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah pidato di Kuliah kebangsaan FISIP UI bertajuk "Hendak Kemana Indonesia Kita? Gagasan, Pengalaman dan Rancangan Para Pemimpin Masa Depan," pada tangal 29 Agustus 2023 lalu, Anies Baswedan, bakal calon presiden (bacapres) yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), menyebut kata 'Konoha' dan 'Wakanda'.

Kedua kata ini memang marak digunakan oleh warga net Indonesia di dalam berbagai komentar dan konten di media sosial. Beliau menyampaikan bahwa kedua kata tersebut digunakan sebagai pengganti kata 'Indonesia' sebagai sarana bagi masyarakat untuk mengkritisi pemerintah tetapi dengan dibarengi rasa takut. (Sumber) 

Saya paham maksud beliau, dan juga mungkin bagi beberapa warga, penggunaan kata 'Konoha' dan 'Wakanda' memang sungguh merupakan bentuk rasa takut dan was was agar tidak dianggap melakukan penghinaan terhadap negara ketika mengkritisi pemerintah.

Wakanda adalah sebuah kata yang merujuk pada sebuah negara fiktif yang ada di dalam komik dan film superhero Marvel Comics, yaitu Black Panther. Sedangkan Konoha, juga merupakan sebuah tempat fiktif yang ada di anime atau kartun dari Jepang berjudul Naruto. 

Logikanya, dengan menggunakan dua kata yang merujuk pada dua wilayah fiktif ini, seseorang tidak akan terjebak di dalam tindakan penghinaan dan melawan hukum, karena mereka tidak secara harafiah menyebut dan menggunakan kata 'Indonesia', meski pada kenyataannya, siapapun yang membaca komentar, paham apa yang dimaksud.

Selain apa yang disampaikan Anies Baswedan, ada pula anggapan bahwa penggunaan kata Konoha dan Wakanda adalah bentuk skeptisisme terhadap pemerintah dan jajarannya, ataupun penguasa secara umum. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap penguasa, membuat kata Konoha dan Wakanda sebagai bentuk ejekan.

Namun, sesungguhnya saya memiliki perspektif yang berbeda mengenai 'budaya' menggunakan dua kata tersebut di dalam aktivitas yang biasa terjadi di dunia maya.

Menurut saya, malah penggunaan Konoha dan Wakanda cenderung merupakan bentuk ketidakacuhan berbalut skeptisisme dan rasa takut. Lebih jauh lagi, penggunaan kedua kata ini juga secara harafiah hanya merupakan bagian dari ejekan dan kurangnya informasi akan sesuatu.

Saya dapat memberikan analogi pendapat saya ini dengan menggunakan sebuah contoh: penyebutan negeri 'Prindapan' untuk merujuk kepada negara India. Kata Prindapan ini berasal dari kata Vrindavan, yang ironisnya adalah sebuah kota suci Hindu di Uttar Pradesh, India bagian Utara.

Kata Prindapan biasanya digunakan untuk mengomentari perilaku atau budaya konyol, jorok dan buruk dari negara India, seperti misalnya cara memasak dan menyediakan makanan dari penjaja makanan jalanan di berbagai tempat di India yang dianggap tidak higienis. Atau beragam pesta rakyat yang menampilkan atraksi dan 'bakat-bakat' warga yang dianggap aneh, lucu dan tidak menarik.

Dari sini saja kita tahu bahwa pengguna kata-kata tersebut memang kurang memiliki pengetahuan yang luas mengenai sebuah tempat termasuk keadaan sosial-budaya masyarakat yang tinggal di tempat tersebut. Ketidakacuhan pengguna kata ini melihat India hanya pada satu sisi dan menolak untuk membuka pikiran dan pengetahuan.

India sendiri tercatat sebagai sebuah negara yang kaya sejarah dan sumbangsih peradabannya di dunia. Selain itu, negara ini dikenal sebagai negara yang memiliki potensi besar untuk menjadi negara adidaya bersanding dengan China. India adalah negara dengan ekonomi terbesar di dunia berdasarkan nominal GDP. Bahkan menurut Harvard Business Review, India telah melampaui Inggris, Prancis, Italia dan Brazil pada tahun 2019 lampau. (Sumber)

Kembali, ini menunjukkan bahwa kita hanya memiliki sedikit saja sisi buruk dari sesuatu dan menggunakannya untuk menunjukkan ketidakpahaman dan ketidakacuhan diri kita sendiri.

Begitu pula dengan penggunaan istilah Wakanda dan Konoha, alih-alih terlihat kritis dan skeptis, pengguna kata-kata ini malah menunjukkan betapa mereka cenderung tidak memiliki pengetahuan yang cukup, bahkan mungkin empati.

Ketika melihat sesuatu yang buruk sedang terjadi di Indonesia, untuk menunjukkan ketidaksukaan mereka, maka Konoha dan Wakanda digunakan untuk mengejek dan menempatkan Indonesia pada posisi yang negatif.

Misalnya saja penegakan hukum. Banyak sekali permasalahan hukum di Indonesia yang tidak tuntas atau tidak berjalan dengan baik. Kasus-kasus korupsi tidak mendapatkan perhatian yang besar bahkan tidak sedikit yang menguap begitu saja. Banyak terdakwa yang tidak mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan kejahatan mereka.

Banyak warganet kemudian menggunakan istilah Konoha dan Wakanda, negara yang 'istimewa' dengan segala keburukan ini.

Saya wajar dan paham. Saya sendiri termasuk yang jengkel dan kerapkali muak dengan perilaku para penguasa, terutama yang dekat dengan uang dan bisa dikatakan kebal hukum.

Namun, menuduh bahwa penguasa membungkam kebebasan pendapat masyarakatnya di masa kini sepertinya tidak relevan lagi. Harusnya masyarakat lebih melek pengetahuan dan membuka diri dengan kemampuan mengakses internet. 

Bila dibandingkan dengan masa pemerintahan Orde Baru misalnya, maka perbedaan ini jelas terasa, dimana saat itu masyarakat yang mengkritisi pemerintah akan dianggap melakukan tindakan yang subversif dan berbahaya, sehingga perlu ditanggap, diadili dan dibungkam.

Menurut Digital Civility Indek (DCI) oleh Microsoft, Indonesia adalah negara dengan tingkat kesopanan warganet yang buruk, bahkan meningkat dari tahun ke tahun (Sumber). 

Dijelaskan juga melalui laporan We Are Social, bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai 213 juta orang pada tahun 2023. Ini berarti setara dengan 77% dari total populasi Indonesia yang sebanyak 276,4 juta orang. (Sumber). 

Ini berarti, dengan pengguna internet sebanyak itu, warganet memberikan banyak sumbangsih dalam perilaku di dunia maya. Segala jenis opini, kritik bahkan ejekan dan hate speech memiliki jumlah yang tidak main-main.

Skeptisisme dan rasa takut saya rasa bukanlah alasan utama mengapa warganet menggunakan kata-kata Wakanda dan Konoha sebagai ganti kata Indonesia, tetapi lebih pada kurangnya kesopanan, tata krama, ketidakacuhan, dan kurangnya pengetahuan.

Saya ingat ketika warganet kerap membandingkan hukuman mati yang dilakukan oleh Tingkok atau Korea Utara terhadap para pelaku korupsi dengan hukuman bagi para koruptor di Indonesia (tentu saja ditulis dengan Wakanda atau Konoha). 

Tentu saja ini bukanlah perbandingan yang layak, karena meski kita tahu bahwa hukum bagi para koruptor di Indonesia memang luar biasa ringan, warganet mungkin tidak acuh dengan pengetahuan bahwasanya Tiongkok dan Korea Utara yang berideologi komunisme memiliki beragam perbedaan dan pertentangan dengan konsep negara Pancasila: bagai air dan minyak, terutama ketika melihat dari sisi sejarah kelam yang dialami bangsa ini.

Saya hanya bisa berharap bahwa penggunaan kata Konoha dan Wakanda yang sudah terlanjur digunakan untuk merujuk kepada negara kita tercinta ini sungguh sebagai sebuah bentuk kritik yang membangun, bukannya sarana mengejek, atau bentuk dari ketidaktahuan bahkan ketidakacuhan kita kepada bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun