Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah Perempuan Harus Bisa Memasak? Sebuah Refleksi Filosofis

30 Januari 2023   14:01 Diperbarui: 30 Januari 2023   14:05 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika pertanyaan ini diberikan, saya melihat respon di dunia maya, terutama di sosial media, dengan tidak terlalu terkejut, meski juga mencoba melihat dari berbagai sisi. Jawabannya tentu terbelah menjadi dua: harus dan tidak harus.

Mengapa masalah sederhana ini menjadi tema dari tulisan saya kali ini?

Masalahnya tidak sedikit jawaban atas pertanyaan ini dibawa ke ranah kesetaraan gender sampai ke penindasan perempuan yang dilakukan oleh laki-laki. Banyak perempuan yang mengatakan bahwa memasak bukan sebuah keharusan bagi seorang perempuan. Bahkan ketika seseorang memaksakan ide bahwa memasak adalah sebuah keharusan bagi perempuan, maka hal itu termasuk bentuk penindasan kaum laki-laki yang tercetak di dalam social construct. Dalam makna yang ektrem, malahan memasak adalah simbol dari perbudakan. Perempuan diharuskan untuk tinggal di rumah, mengemban tugas memerhatikan keluarga seperti membersihkan rumah dan mengurus anak-anak sedangkan suami pergi bekerja. Memasak merupakan bentuk pengekangan terhadap kebebasan perempuan untuk memiliki pekerjaan dan profesi.

Logika yang dibangun adalah bahwa ketika perempuan diwajibkan untuk dapat memasak, disitulah mereka harus meninggalkan impian untuk dapat bebas dan mandiri atau independen.

Menurut saya pribadi, ide atas pengekangan ini bisa benar, bisa pula salah, tinggal dari sudut mana kita melihatnya.

Argumen pertama, menurut saya, memasak harusnya bukanlah semata-mata hanya kewajiban perempuan belaka. Memasak adalah salah satu dari basic skill, atau keterampilan dasar dalam kehidupan.

Menurut Professor Ken Albala dalam bukunya yang berjudul Food: A Cultural Culinary History, ada beberapa tahap dalam sejarah kehidupan manusia tentang bagaimana manusia makan, termasuk di dalamnya proses memproduksi, memasak dan memakan makanan.

Tahap pertama, yaitu dimasa prasejarah, manusia berburu, mengumpulkan makanan dan perlahan mulai memroses atau memasaknya. Di dalam buku tersebut dijelaskan bahwa manusia melalui tahap evolusi yang cukup panjang. Maka, berdasarkan perubahan tersebut, termasuk perbedaan latar belakang geografis, maka memroses makanan akhirnya menjadi sebuah keharusan. Tidak hanya karena menyesuaikan fisiologi atau kondisi tubuh manusia yang sudah berubah tersebut, memasak dan memroses makanan dalam cara-cara tertentu menunjukkan tumbuhnya sebuah peradaban.

Memasak sedari awal adalah salah satu bentuk utama manusia untuk hidup, sebuah survival skill.

Maka, bila ditanya, apakah memasak itu sebuah hal yang perlu? Jawabannya, ya, tentu saja.

Permasalahannya, di dunia modern, masih bersumber di beragam status dan respon di media sosial, banyak yang beranggapan bahwa keterampilan memasak tidak menjadi sebuah keharusan lagi karena dengan berkembangnya teknologi dan kemajuan zaman, makanan sudah mudah diperoleh. Tidak hanya itu, makanan siap saji sudah bisa dibeli dimana saja dan kapan saja tanpa perlu repot-repot memasak sendiri.

Nah, tanpa membawa ke ranah gender pun, sejatinya argumentasi ini memiliki kelemahan. Ada dan siap dimana dan kapan saja, bukan berarti gratis atau cuma-cuma. Memerlukan biaya untuk, bayangkan saja, membeli makanan yang 'dimasak' orang lain di restoran, rumah atau warung makan. Dalam pertimbangan dan perhitungan ekonomi, tentu membeli makanan siap saji memerlukan dana yang lebih tinggi dibanding membeli bahan makanan dan memasaknya. Berarti, resiko yang diambil oleh seseorang ketika ia tidak bisa memasak adalah pekerjaan dengan penghasilan tinggi, dan itu adalah sebuah keharusan.

Untuk sebab itu, memasak pada dasarnya bukan harus dikuasai oleh perempuan saja, melainkan juga oleh laki-laki. Banyak contoh bahwa laki-laki, para mahasiswa atau perantau misalnya, yang terbiasa memasak untuk keperluan diri sendiri. Memasak menjadi pilihan yang paling bijak untuk menghemat biaya, dan pula menyesuaian selera.

Sekarang, bila mau diarahkan ke ranah gender, memasak bagi seorang perempuan seharusnya tidak hanya menjadi sebuah keharusan, tetapi juga kebanggaan. Karena, berkebalikan dengan apa yang beberapa orang pikirkan, kemampuan memasak para perempuan adalah sarana untuk melawan perbudakan dan penekanan (opresi) dari kaum laki-laki.

Perempuan yang tidak bisa memasak, dan menolak untuk bisa memasak, harus memiliki pekerjaan yang pantas agar ia dapat mandiri secara finansial. Bila tidak, maka ia secara ironis akan mengembalikan statusnya ke hal yang seharusnya ia hindari, yaitu budak kaum laki-laki. Bila seorang perempuan tidak mandiri secara finansial dan tidak memiliki basic skill tersebut, akankah ia memerlukan pasangan yang mapan secara ekonomi agar dapat membeli makanan?

Seperti yang dijelaskan Profesor Ken Albala di atas, memasak menjadi bentuk peradaban karena manusia tidak lagi sekadar berburu atau mengumpulkan makanan, tetapi memrosesnya, memberikan seni dan cita rasa serta kompleksitas tertentu bahkan seni yang agung.

Sekarang, banyak chef profesional dan terkenal, bahkan mungkin bisa dikatakan 'mayoritas' ahli masak adalah kaum pria. Tidak hanya chef selebritas nasional semacam chef Juna atau chef Arnold, dunia internasional juga didominasi kaum pria seperti Gordon Ramsay, Wolfgang Puck, Jamie Oliver, Guy Fieri dan masih banyak lagi. Ini berarti profesi memasak pun dikuasai kaum pria dan menyisakan sedikit saja untuk perempuan.

Tidak sampai disitu, keengganan perempuan untuk dapat memasak sepertinya disembunyikan saja dalam argumentasi gender, padahal beberapa perempuan cenderung malas dan tidak tertarik belaka, serta menginginkan kehidupan yang nyaman dan praktis.

Sungguh, tidak ada salahnya ingin hidup nyaman dan praktis, semua orang pun, tidak perduli akan gender dan jenis kelamin, tetap berusaha menggapai kehidupan yang semacam itu. Hanya saja, tidak semua orang bisa beruntung untuk mencapai tingkat kehidupan semacam ini. Memasak dan mengurus semua hal sendiri, mungkin menjadi solusi yang paling praktis, bukannya membeli atau memesan makanan dan membayar asisten rumah tangga.

Lebih jauh, saya juga membaca bahwa keengganan untuk dapat memasak ini juga satu paket dengan keengganan menguasai keterampilan dasar lainnya, seperti membereskan dan membenai rumah, atau gampangnya disebut dengan berberes. Banyak perempuan yang beranggapan bahwa memasak, menyapu, mengepel, mencuci baju dan piring bukanlah sebuah keharusan, sebaliknya adalah sarana bagi kaum pria untuk menekan wanita.

Padahal, jelas sebaliknya. Seorang perempuan yang dapat memasak dan berberes, berarti telah independen dan tidak tergantung oleh suami kaya raya, atau pekerjaan dengan penghasilan tinggi agar dapat menyewa ART.

Karena, bayangkan laki-laki telah mendominasi semua pekerjaan profesional berbasis basic life/survival skill tadi seperti memasak (chef, cook dan tukang masak yang menjual makanan seperti nasi goreng, bakso, masakan Padang, dan sebagainya), pekerjaan rumah dan berberes (housekeeping, cleaning service).

Perempuan direbut haknya karena laki-laki mendominasi semua sektor ekonomi seperti pertukangan, kelistrikan, perkapalan, transportasi, bahkan sampai di bidang kosmetik dan kecantikan. Semua disapu habis.

Sebenarnya, untuk laki-laki pun sama saja. Banyak anggapan bahwa laki-laki tidak harus bisa bertukang, bertani, paham kelistrikan atau perbengkelan. Namun, laki-laki yang menolak untuk mencari tahu dan belajar tentang teknik dan skill tersebut di atas, dipastikan memiliki banyak kesulitan dalam kesehariannya. Hal-hal sederhana seperti memasang bohlam lampu yang putus atau memasang kabel listrik, sampai sekadar memaku gantungan baju di pintu harusnya tidak perlu membuat seorang laki-laki mengeluarkan uang hanya untuk meminta seseorang memasangkan lampu atau gantungan baju.

Step aside the gender-based responsibility argumentation, saya merasa bahwa memasak adalah keharusan baik perempuan maupun laki-laki. Tidak hanya itu, memasak malah seharusnya menjadi hak khusus bagi seorang perempuan. Tidak boleh ada propaganda dan pelarangan bagi perempuan untuk bisa dan mau memasak, entah untuk alasan seperti memasak untuk suami dan anak-anaknya, atau memasak untuk diri sendiri. Memasak adalah hak perempuan untuk survive dalam kehidupan mereka, merdeka dan independen, bukan untuk mengekang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun