Karena, bayangkan laki-laki telah mendominasi semua pekerjaan profesional berbasis basic life/survival skill tadi seperti memasak (chef, cook dan tukang masak yang menjual makanan seperti nasi goreng, bakso, masakan Padang, dan sebagainya), pekerjaan rumah dan berberes (housekeeping, cleaning service).
Perempuan direbut haknya karena laki-laki mendominasi semua sektor ekonomi seperti pertukangan, kelistrikan, perkapalan, transportasi, bahkan sampai di bidang kosmetik dan kecantikan. Semua disapu habis.
Sebenarnya, untuk laki-laki pun sama saja. Banyak anggapan bahwa laki-laki tidak harus bisa bertukang, bertani, paham kelistrikan atau perbengkelan. Namun, laki-laki yang menolak untuk mencari tahu dan belajar tentang teknik dan skill tersebut di atas, dipastikan memiliki banyak kesulitan dalam kesehariannya. Hal-hal sederhana seperti memasang bohlam lampu yang putus atau memasang kabel listrik, sampai sekadar memaku gantungan baju di pintu harusnya tidak perlu membuat seorang laki-laki mengeluarkan uang hanya untuk meminta seseorang memasangkan lampu atau gantungan baju.
Step aside the gender-based responsibility argumentation, saya merasa bahwa memasak adalah keharusan baik perempuan maupun laki-laki. Tidak hanya itu, memasak malah seharusnya menjadi hak khusus bagi seorang perempuan. Tidak boleh ada propaganda dan pelarangan bagi perempuan untuk bisa dan mau memasak, entah untuk alasan seperti memasak untuk suami dan anak-anaknya, atau memasak untuk diri sendiri. Memasak adalah hak perempuan untuk survive dalam kehidupan mereka, merdeka dan independen, bukan untuk mengekang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H