Permasalahannya, di dunia modern, masih bersumber di beragam status dan respon di media sosial, banyak yang beranggapan bahwa keterampilan memasak tidak menjadi sebuah keharusan lagi karena dengan berkembangnya teknologi dan kemajuan zaman, makanan sudah mudah diperoleh. Tidak hanya itu, makanan siap saji sudah bisa dibeli dimana saja dan kapan saja tanpa perlu repot-repot memasak sendiri.
Nah, tanpa membawa ke ranah gender pun, sejatinya argumentasi ini memiliki kelemahan. Ada dan siap dimana dan kapan saja, bukan berarti gratis atau cuma-cuma. Memerlukan biaya untuk, bayangkan saja, membeli makanan yang 'dimasak' orang lain di restoran, rumah atau warung makan. Dalam pertimbangan dan perhitungan ekonomi, tentu membeli makanan siap saji memerlukan dana yang lebih tinggi dibanding membeli bahan makanan dan memasaknya. Berarti, resiko yang diambil oleh seseorang ketika ia tidak bisa memasak adalah pekerjaan dengan penghasilan tinggi, dan itu adalah sebuah keharusan.
Untuk sebab itu, memasak pada dasarnya bukan harus dikuasai oleh perempuan saja, melainkan juga oleh laki-laki. Banyak contoh bahwa laki-laki, para mahasiswa atau perantau misalnya, yang terbiasa memasak untuk keperluan diri sendiri. Memasak menjadi pilihan yang paling bijak untuk menghemat biaya, dan pula menyesuaian selera.
Sekarang, bila mau diarahkan ke ranah gender, memasak bagi seorang perempuan seharusnya tidak hanya menjadi sebuah keharusan, tetapi juga kebanggaan. Karena, berkebalikan dengan apa yang beberapa orang pikirkan, kemampuan memasak para perempuan adalah sarana untuk melawan perbudakan dan penekanan (opresi) dari kaum laki-laki.
Perempuan yang tidak bisa memasak, dan menolak untuk bisa memasak, harus memiliki pekerjaan yang pantas agar ia dapat mandiri secara finansial. Bila tidak, maka ia secara ironis akan mengembalikan statusnya ke hal yang seharusnya ia hindari, yaitu budak kaum laki-laki. Bila seorang perempuan tidak mandiri secara finansial dan tidak memiliki basic skill tersebut, akankah ia memerlukan pasangan yang mapan secara ekonomi agar dapat membeli makanan?
Seperti yang dijelaskan Profesor Ken Albala di atas, memasak menjadi bentuk peradaban karena manusia tidak lagi sekadar berburu atau mengumpulkan makanan, tetapi memrosesnya, memberikan seni dan cita rasa serta kompleksitas tertentu bahkan seni yang agung.
Sekarang, banyak chef profesional dan terkenal, bahkan mungkin bisa dikatakan 'mayoritas' ahli masak adalah kaum pria. Tidak hanya chef selebritas nasional semacam chef Juna atau chef Arnold, dunia internasional juga didominasi kaum pria seperti Gordon Ramsay, Wolfgang Puck, Jamie Oliver, Guy Fieri dan masih banyak lagi. Ini berarti profesi memasak pun dikuasai kaum pria dan menyisakan sedikit saja untuk perempuan.
Tidak sampai disitu, keengganan perempuan untuk dapat memasak sepertinya disembunyikan saja dalam argumentasi gender, padahal beberapa perempuan cenderung malas dan tidak tertarik belaka, serta menginginkan kehidupan yang nyaman dan praktis.
Sungguh, tidak ada salahnya ingin hidup nyaman dan praktis, semua orang pun, tidak perduli akan gender dan jenis kelamin, tetap berusaha menggapai kehidupan yang semacam itu. Hanya saja, tidak semua orang bisa beruntung untuk mencapai tingkat kehidupan semacam ini. Memasak dan mengurus semua hal sendiri, mungkin menjadi solusi yang paling praktis, bukannya membeli atau memesan makanan dan membayar asisten rumah tangga.
Lebih jauh, saya juga membaca bahwa keengganan untuk dapat memasak ini juga satu paket dengan keengganan menguasai keterampilan dasar lainnya, seperti membereskan dan membenai rumah, atau gampangnya disebut dengan berberes. Banyak perempuan yang beranggapan bahwa memasak, menyapu, mengepel, mencuci baju dan piring bukanlah sebuah keharusan, sebaliknya adalah sarana bagi kaum pria untuk menekan wanita.
Padahal, jelas sebaliknya. Seorang perempuan yang dapat memasak dan berberes, berarti telah independen dan tidak tergantung oleh suami kaya raya, atau pekerjaan dengan penghasilan tinggi agar dapat menyewa ART.