Masing-masing lembaga pemerintah memiliki unit kerja sama internasional. Pemerintah daerah juga mampu mengembangkan kerja sama teknis, seperti sister city, kerja sama sub-regional, kerja sama perbatasan dan kerja sama fungsional lain.
Struktur terdesentralisasi membuka ruang politik bagi penetrasi kekuatan-kekuatan internasional. Kekuatan ekonomi, misalnya, dapat memanfaatkan kelemahan koordinasi antar lembaga, antar pusat dan daerah untuk memajukan kepentingan mereka.
Dalam sektor pertambangan misalnya, meski izin menjadi wewenang pusat, perusahaan asing masih bisa melobi daerah untuk mencapai kepentingan mereka.
Secara sektoral, Presiden baru masih akan menghadapi isu-isu internasional di bidang ekonomi, politik dan keamanan, lingkungan, migrasi dan kejahatan transnasional. Isu-isu ini sering kali bertumpah tindih. Isu ekonomi berkaitan dengan isu lingkungan. Isu Migrasi bertumpang tindih dengan isu keamanan. Kebijakan politik Luar Negeri harus memperhatikan keterkaitan antar isu tersebut.
Kompleksitas isu yang dihadapi membuat Politik luar negeri tidak hanya melibatkan aktor negara, tetapi juga kelompok bisnis, komunitas epistemik, masyarakat sipil dan NGO.
Aktor-aktor non-negara ini memiliki jaringan transnasional yang memungkinkan koalisi kepentingan, mobilisasi sumber daya, aksi bersama. Peran mereka bisa menjadi mitra negara atau pesaing negara dalam agenda setting politik domestik maupun politik internasional.
Keterlibatan aktor non-negara juga didorong oleh proses globalisasi yang bersifat multi-dimensional dan berlangsung cepat. Perkembangan ini tidak bisa direspons negara secara sendirian.
Selain keterbatasan sumber daya pengetahuan dan keuangan, masalah kedaulatan juga ikut menghambat respons kolektif bersama negara lain. Butuh perjanjian, kesepakatan, dan kerja sama politik antar-sekelompok negara untuk merespons masalah-masalah yang muncul akibat globalisasi. Soal sampah plastik di perairan Asia Tenggara adalah contoh kasusnya. Kondisi pencemaran mikro plastik sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan, tetapi respons kolektif regional sangat lamban.
Proses globalisasi finansial, perdagangan dan investasi juga membuat negara tidak bisa otonom dalam merumuskan kebijakan ekonomi. Globalisasi masalah publik seperti polusi, penyakit menular, kriminalitas merepotkan negara.
Kondisi ini menciptakan ruang kebijakan yang memberi peran aktor non-negara makin besar. Kekuatan berupa koordinasi yang longgar, cepat, kekayaan sumber pengetahuan dan jaringan lintas negara, membuat masyarakat sipil dan NGO bisa jauh lebih cepat merespons sebuah masalah lintas batas akibat globalisasi.
Semua perkembangan ini, membuat batas kebijakan domestik dan internasional menjadi kabur. Meskipun batas teritorial masih tetap bertahan.