Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dampak Penghapusan Ambang Batas Parlemen

8 Maret 2024   23:43 Diperbarui: 11 Maret 2024   06:09 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan MK menghabus ambang batas parlemen menimbulkan banyak kritik. Keputusan ini juga membawa dampak penting bagi praktek demokrasi perwakilan di Indonesia. 

Meski tujuannya untuk memperkuat kedaulatan rakyat, penghapusan ambang batas parlemen membuat praktek politik lebih kompleks.

Partai, Pemilu dan Hukum besi Oligarki

 Dalam negara demokrasi, partai Politik dan sistem pemilu merupakan pilar utama. Kebebasan berorganisasi dan media yang merdeka adalah pilar penting lain. 

Partai dan Pemilu merupakan sarana  suksesi atau pergantian para pemimpin politik. Melalui pemilu bebas, adil dan tidak curang, rekrutmen individu untuk lembaga perwakilan dan jabatan politik dapat dilakukan secara teratur dan tanpa kekerasan. 

Pemilu juga menjadi alat bagi rakyat untuk menentukan  siapa  yang boleh dan tidak boleh memegang kekuasaan.

Bekerjanya hukum besi oligarki (Iron Law of Oligarchy), membuat pemilu menjadi instrumen utama yang bisa dipakai rakyat untuk menghukum mereka yang ingkar janji. Hukum besi oligarki adalah istilah yang dikemukakan Robert Michels, Sosiolog kelahiran Jerman-Italia dalam bukunya 'Political Parties"  (1911). 

Menurut Michels, mayoritas institusi politik, mungkin demokratis pada awalnya. Dalam perkembangan, semua institusi memiliki kecenderungan memihak kepentingan oligarki. 

Sifat institusi politik yang kompleks dan ketiadaan mekanisme demokrasi langsung dalam fungsi sehari-hari, membuat kecenderungan hukum besi oligarki  tak terelakkan.

 Hubungan para wakil rakyat dengan pemilih hanya berlangsung intens menjelang pungutan suara. Setelah pemilu selesai, para wakil rakyat sebenarnya bekerja lebih banyak untuk kepentingan mereka dan oligarki yang berkuasa. 

Kepentingan rakyat pemilih bukan merupakan agenda utama setelah mereka terpilih. Dengan demikian, pemilu lima tahun sekali memiliki posisi strategis dalam menantang hukum besi oligarki. Rakyat dapat menolak memilih oligarki yang mengabaikan aspirasi dan hak mereka.

Sistem Pemilu Distrik dan Proporsional

Secara umum ada tiga sitem pemilu yang diterapkan negara-negara demokrasi yakni sistem distrik,  proporsional dan campuran. Meskipun demikian yang paling umum dipakai adalah sistem distrik dan proporsional.

Sistem distrik  berlaku 'single member constituency' di mana satu daerah pemilihan hanya tersedia 1 wakil. Daerah pemilihan dibagi ke dalam distrik berdasarkan jumlah pemilih. Misalnya 1 distrik 50.000 pemilih

Prinsip yang digunakan adalah  calon yang mendapat suara terbanyak menjadi pemenang dan berhak mewakili daerah pemilihan tersebut. Suara yang diperoleh calon yang kalah dianggap hilang dan tidak dapat diakumulasi secara nasional oleh partai.

Sistem distrik sering dikritik karena kesenjangan antar jumlah suara dan jumlah kursi dalam parlemen nasional. Prinsip 'winner takes all'  membuat sebuah partai yang memperoleh jumlah suara lebih besar secara total, justru mendapat jumlah kursi lebih sedikit dalam parlemen. 

Model distrik juga menguntungkan partai besar, merugikan partai kecil, kepentingan minoritas terbaikan. Wakil cenderung memperjuangkan kepentingan distrik dan menempatkan kepentingan nasional nomor dua.

Sisi positif sistem distrik adalah secara alamiah mendorong pengurangan jumlah partai. Karena jumlah kursi hanya satu dalam setiap distrik, partai-partai cenderung melakukan fusi. 

Fragmentasi partai dan kecenderungan pembentukan partai baru dapat dicegah. Penyederhanaan jumlah partai dapat dilakukan tanpa paksaan. 

Selain itu, wakil yang akan dipilih lebih dekat dan dikenal para pemilih, hubungan dengan pemberi suara erat, wakil memiliki komitmen pada pemilih. Konflik dalam parlemen juga rendah karena jumlah partai sedikit.

Model pemilu distrik tidak cocok untuk sebuah negara plural secara etnis, budaya, agama dan kesukuan. Karena itu, negara-negara besar dan plural cenderung memilih model pemilu proporsional yang menerapkan model 'multi member constituency'.

Ada dua model sistem proporsional yakni yang terbuka dan tertutup. Dalam model terbuka, caleg yang terpilih ditentukan jumlah suara, urutan nomor tidak terlalu berpengaruh. 

Dalam model proporsional tertutup seperti di bawah Orde Baru, urutan nomor menjadi dasar pemberian kursi kepada caleg. Karena, itu dalam model tertutup posisi partai sangat kuat berhadapan dengan para caleg.

Berbeda dengan model distrik, model proporsional memperebutkan beberapa kursi dalam satu daerah pemilihan. Dalam pemilu 2024, terdapat 84 daerah pemilihan untuk memperebutkan 850 kursi DPRI. Di dapil Yogya, misalnya, partai memperebutkan jatah  8 kursi DPRI.

Jumlah kursi yang diperoleh partai didasarkan pada jumlah suara sah dibagi. Pemilu 2019 dan 2024 menggunakan model Sainte lague untuk membagi suara sah kepada partai dalam sebuah daerah pemilihan. Sainte Lague adalah matematikawan asal Perancis yang merumuskan metode ini tahun 1910.  

Dalam menentukan kursi pertama, suara sah sebuah partai dibagi bilang 1. Dari perhitungan suara, partai A mendapat 20.000, Partai B 15.000 suara, Patai C 10.000 suara. 

Saat dibagi 1 maka Partai A memiliki suara tertinggi dan mendapat kursi pertama. Kursi kedua diperoleh dengan membagi jumlah suara dengan bilangan ganjil. 

A: 20.000/3 = 6.666,6, sedangkan B:  15.000/1 = 15.000, C = 10.000/1 = 10.000 maka kursi kedua milik partai B. Untuk kursi ke tiga, Partai A, 20.000/3 = 6.666,6, Partai B: 15.000/3 = 5000, Partai C, 10.000/1 = 10.000, maka partai C mendapat kursi ke tiga dan seterusnya.

Pembagian hanya dilakukan kepada partai yang perolehan suaranya mencapai ambang batas parlemen 4 %. Partai yang tidak mencapai ambang batas parlemen tidak diikutkan dalam pembagian kursi. 

Karena itu,  penghapusan ambang batas parlemen dan rumor penggelembungan suara menjadi menjadi isu krusial dalam pemilu kali ini. Ada kecurigaan keputusan penghapusan ambang batas ditujukan untuk meloloskan partai tertentu.

Model pemilu  proporsional dipandang lebih representatif karena dianggap jumlah kursi mencerminkan dukungan politik pada partai. Model ini juga lebih demokratis dan egaliter karena memberikan peluang lebih besar pada peserta pemilu memperoleh kursi. 

Sistem pemilu proporsional juga cocok untuk negara majemuk seperti Indonesia karena minoritas dapat terwakili di parlemen dan memperkuat integrasi politik. Mereka bisa membentuk partai atau mendukung partai yang merepresentasikan kepentingan mereka.

Ketika Ambang Batas Parlemen Dihapus

Untuk apa ambang batas parlemen? Jawabannya adalah supaya jumlah partai tidak terlalu banyak, karena dampak sistem proporsional adalah mudahnya terjadi fragmentasi kepartaian. 

Partai-partai sulit bersatu dan mudah terjadi perpecahan partai sehingga jumlah partai peserta pemilu cenderung banyak. Partai baru muncul dari pecahan partai lama.

Akibatnya parlemen akan dihuni oleh wakil dari banyak partai. Karena tidak ada partai mayoritas, koalisi antar partai harus dibangun. Kompromi juga mesti dilakukan dalam keputusan mengenai sebuah kebijakan pemerintah atau pemberlakuan undang-undang.

Sistem proporsional menyebabkan pemerintah cenderung tidak stabil, khususnya ketika sistem pemerintahan menggunakan model kabinet parlementer.  Pemerintah hasil Pemilu 1955 harus menjadi pelajaran. Dalam pemilu tersebut, Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup. Pemilu 55 memperebutkan 260 kursi DPR RI.   Suara terbanyak diperoleh 4 partai yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 22,3 %,  Masyumi sebanyak 20,9 persen suara, Nahdlatul Ulama memperoleh 18,4 persen suara, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) menguasai 15,4 persen suara (www.kompas.Com). 

Pemilu ini berhasil menempatkan 23 partai lain ke dalam parlemen. Pemilu sistem proporsional di tengah pembelahan ideologis, agama, etnis, daerah, tidak adanya pengalaman dengan demokrasi liberal, menghasilkan pemerintah parlementer yang tidak stabil. Politik sangat menyita energi sebuah republik muda. Antara 1949-1959, terjadi 7 kali pergantian kabinet yang membuat agenda pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat terbengkalai.

Dalam model presidensial, parlemen hasil pemilu proporsional mempersulit presiden membangun dukungan parlemen terhadap kebijakan yang dibuat.

Keputusan MK menghapus ambang batas memang membuka ruang partisipasi rakyat yang lebih luas. Siapa saja bisa membentuk partai dan ikut bertarung dalam pemilu. 

Partai kecil memiliki peluang menempatkan wakilnya di DPR. Di sisi lain, tanpa ambang batas parlemen, jumlah partai akan makin banyak dan komposisi kepartaian dalam DPR akan makin plural.

Dampaknya adalah Pertama, sistem presidential yang kita anut akan memiliki cita rasa pemerintahan parlementer. Presiden harus menggunakan energi dan sumber daya politik untuk membangun dukungan melalui koalisi kepartaian karena tidak ada partai mayoritas. 

Dalam upaya membangun dukungan partai, politik 'bagi-bagi' mungkin tak bisa dihindari oleh presiden. Waktu yang dibutuhkan untuk membangun kesepakatan lebih lama. Dampaknya adalah hukum besi oligarki justru makin kuat.

Kedua, mungkin kita akan menyaksikan politik demi politik itu sendiri. Politik, sebagai sarana membangun 'bonum commune', berubah melulu menjadi sarana pertarungan kekuasaan. 

Parlemen yang sibuk dengan diri mereka sendiri dan kurang sibuk dengan pemilih yang mendukung mereka. Demokrasi berkembang menjadi tujuan itu sendiri. Bukan demokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan lain yakni kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Ketiga, ada kemungkinan berkembang tirani partai minoritas dalam parlemen. Ketika keputusan dilakukan dengan voting, suara partai-partai besar seimbang. 

Dalam kondisi ini, ke mana fraksi partai keci menggeser dukungan akan menentukan sah tidaknya, diterima tidaknya sebuah usulan kebijakan pemerintah atau inisiatif UU, baik  diajukan oleh Pemerintah atau DPR sendiri.

Keempat, secara teknis pemilu akan memakan biaya makin banyak karena surat suara dan logistik lain membesar. Pemilih mungkin juga akan kebingungan memilih puluhan partai dan ratusan caleg. 

Bukan tidak mungkin partisipasi politik dalam pemilu menurun karena orang enggan menghadapi keruwetan baru di bilik suara saat melihat terlalu banyak partai dan caleg.

Penutup

Ambang batas menjadi semacam 'pagar kecil' mencegah multiplikasi partai akibat penerapan sistem proporsional. Politik menjadi lebih efisien karena proses tawar-menawar tidak terlalu lama dan kompleks akibat terlalu banyak partai. 

Pemilu dan sarana perwakilan adalah sarana moderasi kepentingan. Sistem proporsional tanpa ambang batas parlemen justru memperbesar peluang konflik kepentingan antar partai yang selama juga mudah terbelah oleh berbagi agenda berbagai faksi yang ada di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun