Ada dua model sistem proporsional yakni yang terbuka dan tertutup. Dalam model terbuka, caleg yang terpilih ditentukan jumlah suara, urutan nomor tidak terlalu berpengaruh.Â
Dalam model proporsional tertutup seperti di bawah Orde Baru, urutan nomor menjadi dasar pemberian kursi kepada caleg. Karena, itu dalam model tertutup posisi partai sangat kuat berhadapan dengan para caleg.
Berbeda dengan model distrik, model proporsional memperebutkan beberapa kursi dalam satu daerah pemilihan. Dalam pemilu 2024, terdapat 84 daerah pemilihan untuk memperebutkan 850 kursi DPRI. Di dapil Yogya, misalnya, partai memperebutkan jatah  8 kursi DPRI.
Jumlah kursi yang diperoleh partai didasarkan pada jumlah suara sah dibagi. Pemilu 2019 dan 2024 menggunakan model Sainte lague untuk membagi suara sah kepada partai dalam sebuah daerah pemilihan. Sainte Lague adalah matematikawan asal Perancis yang merumuskan metode ini tahun 1910. Â
Dalam menentukan kursi pertama, suara sah sebuah partai dibagi bilang 1. Dari perhitungan suara, partai A mendapat 20.000, Partai B 15.000 suara, Patai C 10.000 suara.Â
Saat dibagi 1 maka Partai A memiliki suara tertinggi dan mendapat kursi pertama. Kursi kedua diperoleh dengan membagi jumlah suara dengan bilangan ganjil.Â
A: 20.000/3 = 6.666,6, sedangkan B: Â 15.000/1 = 15.000, C = 10.000/1 = 10.000 maka kursi kedua milik partai B. Untuk kursi ke tiga, Partai A, 20.000/3 = 6.666,6, Partai B: 15.000/3 = 5000, Partai C, 10.000/1 = 10.000, maka partai C mendapat kursi ke tiga dan seterusnya.
Pembagian hanya dilakukan kepada partai yang perolehan suaranya mencapai ambang batas parlemen 4 %. Partai yang tidak mencapai ambang batas parlemen tidak diikutkan dalam pembagian kursi.Â
Karena itu, Â penghapusan ambang batas parlemen dan rumor penggelembungan suara menjadi menjadi isu krusial dalam pemilu kali ini. Ada kecurigaan keputusan penghapusan ambang batas ditujukan untuk meloloskan partai tertentu.
Model pemilu  proporsional dipandang lebih representatif karena dianggap jumlah kursi mencerminkan dukungan politik pada partai. Model ini juga lebih demokratis dan egaliter karena memberikan peluang lebih besar pada peserta pemilu memperoleh kursi.Â
Sistem pemilu proporsional juga cocok untuk negara majemuk seperti Indonesia karena minoritas dapat terwakili di parlemen dan memperkuat integrasi politik. Mereka bisa membentuk partai atau mendukung partai yang merepresentasikan kepentingan mereka.