Ketika Ambang Batas Parlemen Dihapus
Untuk apa ambang batas parlemen? Jawabannya adalah supaya jumlah partai tidak terlalu banyak, karena dampak sistem proporsional adalah mudahnya terjadi fragmentasi kepartaian.Â
Partai-partai sulit bersatu dan mudah terjadi perpecahan partai sehingga jumlah partai peserta pemilu cenderung banyak. Partai baru muncul dari pecahan partai lama.
Akibatnya parlemen akan dihuni oleh wakil dari banyak partai. Karena tidak ada partai mayoritas, koalisi antar partai harus dibangun. Kompromi juga mesti dilakukan dalam keputusan mengenai sebuah kebijakan pemerintah atau pemberlakuan undang-undang.
Sistem proporsional menyebabkan pemerintah cenderung tidak stabil, khususnya ketika sistem pemerintahan menggunakan model kabinet parlementer. Â Pemerintah hasil Pemilu 1955 harus menjadi pelajaran. Dalam pemilu tersebut, Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup. Pemilu 55 memperebutkan 260 kursi DPR RI. Â Suara terbanyak diperoleh 4 partai yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 22,3 %, Â Masyumi sebanyak 20,9 persen suara, Nahdlatul Ulama memperoleh 18,4 persen suara, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) menguasai 15,4 persen suara (www.kompas.Com).Â
Pemilu ini berhasil menempatkan 23 partai lain ke dalam parlemen. Pemilu sistem proporsional di tengah pembelahan ideologis, agama, etnis, daerah, tidak adanya pengalaman dengan demokrasi liberal, menghasilkan pemerintah parlementer yang tidak stabil. Politik sangat menyita energi sebuah republik muda. Antara 1949-1959, terjadi 7 kali pergantian kabinet yang membuat agenda pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat terbengkalai.
Dalam model presidensial, parlemen hasil pemilu proporsional mempersulit presiden membangun dukungan parlemen terhadap kebijakan yang dibuat.
Keputusan MK menghapus ambang batas memang membuka ruang partisipasi rakyat yang lebih luas. Siapa saja bisa membentuk partai dan ikut bertarung dalam pemilu.Â
Partai kecil memiliki peluang menempatkan wakilnya di DPR. Di sisi lain, tanpa ambang batas parlemen, jumlah partai akan makin banyak dan komposisi kepartaian dalam DPR akan makin plural.
Dampaknya adalah Pertama, sistem presidential yang kita anut akan memiliki cita rasa pemerintahan parlementer. Presiden harus menggunakan energi dan sumber daya politik untuk membangun dukungan melalui koalisi kepartaian karena tidak ada partai mayoritas.Â
Dalam upaya membangun dukungan partai, politik 'bagi-bagi' mungkin tak bisa dihindari oleh presiden. Waktu yang dibutuhkan untuk membangun kesepakatan lebih lama. Dampaknya adalah hukum besi oligarki justru makin kuat.