Inti dari UU ini adalah (1) pengurangan peran  negara dari sektor migas melalui kebijakan deregulasi dan debirokratisasi; (2) pemisahaan sektor hulu dan hilir (unbundling). Pemisahan ini membuat perusahaan yang ingin investasi di sektor hilir migas, misalnya membangun jaringan distibusi, tidak perlu lagi melakukan investasi di hulu; (3) membentuk badan yang mengawasi sektor hulu yakni BP Migas, kemudian jadi SKK Migas dan hilir oleh BPH Migas: (4) Korporatisasi Pertamina. Manajemen perusahaan plat merah ini dipisahkan dari birokrasi pemerintah, dan berubah kedudukannya sama seperti perusahaan swasta.
Liberalisasi tidak menaikkan produksi minyak Indonesia. Tahun 2022, angka lifting minyak hanya mencapai 727.00 barel/hari. Tidak banyak berubah dari tahun sebelumnya. Sebabnya adalah Pertama, pemisahan antara sektor hulu dan hilir membuat perusahaan memilih investasi di sektor hilir yang resikonya lebih rendah. Padahal investasi di hulu adalah kunci peningkatan produksi migas.
Kedua, sumber-sumber minyak Indonesia tidak lagi berada di wilayah Barat yang mudah dijangkau. Sumber-sumber minyak dangkal di Jawa dan Sumatera sudah dieksploitasi. Yang tersisa ada wilayah Indonesia bagian Timur yang secara geografis sulit dijangkau. Resiko kegagalan sangat tinggi sementara biaya eksplorasi tidak bisa ditagih kembali jika sumber minyak tidak ditemukan.
Kasus eksplorasi Satoil di Selat Makasar adalah contohnya. Setelah 6  tahun melakukan studi eksplorasi, cadangan minyak tak ditemukan, padahal perusahaan ini telah mengeluarkan biaya sebesar Rp 2,6 Trilliun  atau sebesar US$ 271 juta  (https://www.merdeka.com).  Biaya ini ditanggung Satoil dan tidak bisa dimasukan ke dalam 'cost recovery' karena gagal menghasilkan minyak.
Ketiga, perubahan sistem bagi hasil dan kebijakan lain juga membuat perusahaan enggan masuk ke Indonesia, meski terjadi liberalisasi sektor migas. Sebelum tahun 2017, Indonesia memberlakukan 'Production sharing contract' (PSC). Sistem ini ditemukan oleh Ibnu Sutowo,  Dirut pertamina antara  1968-976. Katanya dengan meniru model bagi hasil sawah. Seperti penyewa tanah, kontraktor menanggung biaya produksi yang bisa ditagih kembali setelah migas berhasil diproduksi. Produksi minyak setelah dikurangi biaya produksi dibagi di antara pemerintah dan kontraktor. Sama seperti dalam sistem bagi hasil sawah.
Sejak tahun 2017, pemerintah memberlakukan sistem 'gross split' untuk kontrak baru. Â Dalam model ini, Â hasil produksi migas langsung dibagi di antara pemerintah dan kontraktor. Biaya produksi ditanggung kontraktor dan tidak bisa ditagih kembali saat minyak telah diproduksi. Tujuannya adalah peningkatan efisiensi di pihak kontraktor. Pemerintah hanya mengawasi besaran produksi.
Kebijakan 'gross split' mengurangi beban negara, meningkatkan keuntungan dari sektor migas, mengurangi korupsi dari penyalahgunaan sistem 'cost recovery' dalam PSC. Pada saat bersamaan, gross split menciptakan disisentif bagi investasi baru di sektor migas karena meningkatkan biaya dan resiko kerugian. Dalam kondisi di mana, minyak dan gas dangkal makin sulit, biaya eksplorasi dan produksi makin besar. Pemberlakuan gross split menambah beban resiko perusahaan. Mereka mungkin enggan masuk ke sektor hulu, yang menjelaskan mandegnya angka produksi minyak mentah Indonesia.
Keempat, liberalisasi pasar migas  tidak selalu meningkatkan keamanan pasokan karena energi memiliki dimensi politik. Negara adalah 'natural custodian' (penjaga alamiah) sumber energi. Negara dapat menggunakan energi sebagai alat politik.
Ke dalam, kontrak migas dipakai untuk menjamin dukungan oligarki. Hasil migas membiayai program pembangunan dan kesejahteraan untuk menjamin legitimasi dari rakyat. Ke luar, energi dipakai sebagai alat mencapai kepentingan politik internasional. Pengalaman embargo minyak OPEC tahun 1974 dan Embargo gas Rusia ke Eropa adalah contoh penggunaan energi sebagai senjata politik.
Penggunaan minyak sebagai senjata politik mengganggu stabilitas pasokan dalam pasar energi yang paling liberal sekalipun. Jumlah produsen terbatas dan sifat rendah subsitusi komoditas energi memperburuk dampak 'oil weapon' pada stabilitas pasokan dalam menjamin keamanan energi.
Penutup