Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mekanisme Pasar dan Keamanan Energi

5 Maret 2024   07:58 Diperbarui: 12 Maret 2024   23:29 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://phi.pertamina.com/id/media-informasi

Energi, sebagai daya yang dapat menggerakan sesuatu yang lain, merupakan komoditas strategis bagi hidup manusia. Dalam bentuknya sebagai minyak, batubara, gas alam, panas bumi, tenaga hidro atau yang lain, energi berperan penting dalam pembangunan, dalam kesejahteraan sosial pertahanan dan keamanan. Isu energi menjadi perhatian publik Indonesia pasca reformasi.

Keamanan energi

Istilah ini merupakan terjemahan dari 'energy security, yang menekankan pada ketersediaan pasokan dengan harga terjangkau. Sebuah negara, bisa dikatakan memiliki keamanan energi jika cukup pasokan minyak, gas, batubara atau energi lain dan harga pada tingkat rata-rata yang bisa dibayar oleh masyarakat.

Daniel Yergin (2006) mendefinisikan keamanan energi  sebagai ketersediaan energi pada harga yang terjangkau.  Ocheltree,  dikutip  Ciuta, (2010) mengkonseptualisasikan keamanan energi dalam cakupan lebih luas. Ia bilang keamanan energi itu melibatkan aspek fisik dan non fisik. Keamanan  seluruh insfrastruktur dan jaringan pasokan energi adalah aspek fisik yang dimaksud. Jaringan tersebut harus aman dari serangan terorisme, perang, perampokan dan bencana alam. Keamanan ladang minyak, jaringan pipa, pembangkit energi, stasiun gas dan jaringannya ke rumah tangga menjamin kelangsungan pasokan.

Indonesia menggunakan istilah ketahanan energi yang mencakup empat aspek yakni Availability  yakni ketersediaan sumber energi dan energi yang berada di dalam atau di luar negeri; Accesibility yakni kemampuan untuk mengakses sumber energi, infrastruktur jaringan energi, termasuk tantangan geografik dan geopolitik; Affordability yakni kemampuan untuk membiayai investasi, produksi, distribusi dan biaya konsumsi energi; Acceptability yakni bahwa pemanfaatan energi harus menyesuaikan dengan daya dukung lingkungan dan diterima secara sosial dan kultural (Hikam, 2014, 9-10). Dengan kata lain,  ketahanan energi adalah kondisi di mana ketersediaan energi dijamin, dapat dibeli oleh masyarakat dan peduli pada keamanan lingkungan

Keamanan energi tidak mempertanyakan siapa dan dari mana energi dipasok. Yang penting cukup tersedia. Apakah energi dipasok oleh perusahaan swasta domestik atau perusahaan asing, oleh negara atau pasar, dari dalam atau luar negeri, bukan merupakan isu penting. Yang dipilih adalah mekanisme yang paling murah dan efisien dalam memproduksi dan memasok energi yang dibutuhkan. Dalam praktek, mekanisme pasar telah menjadi pilihan utama untuk menjamin pasokan energi yang stabil, terjangkau dan aman.

Pasar dan Keamanan Energi

Pasar dipandang mampu memenuhi empat kriteria keamanan energi yakni ketersediaan, keterjangkauan dari aspek lokasi,  terjangkau dari aspek biaya dan penerimaan dari sisi lingkungan, sosial dan budaya.

Aktivitas perusaahaan energi yang didasari motif keuntungan mampu menyediakan energi yang dibutuhkan dalam volume maupun jenis.  Mekanisme pasar membuka peluang bagi banyak pemain baru di sektor energi. Kehadiran perusahaan-perusahaan lama dan baru membuka peluang eksploitasi dan eksplorasi lebih besar, sehingga pasokan energi akan stabil atau meningkat. Ketika investasi di sektor migas tidak lagi dimonopoli oleh satu perusahaan, jumlah perusahaan migas bertambah, aktivitas produksi meningkat, keamanan energi menguat.

Dari sisi aksesibilitas, motif keuntungan mendorong perusahaan terus-menerus mengembangkan pengetahuan dan  teknologi baru yang lebih efisien. Keduanya membantu  mengatasi kesulitan lokasi cadangan migas. Sumber minyak dan gas di laut dalam sekarang bisa dipompa keluar berkat teknologi pemboran terapung.Brasil misalnya mampu melakukan pemboran sampai kedalaman 6000 meter.

Penemuan teknologi pemboran horisontal dengan hidraulic fracturing mampu mengangkat gas di lapisan 'shale'. Ini adalah lapisan batuan berpori yang menyimpan minyak dan gas. Revolusi 'shale' membuat produksi migas AS meningkat tajam sehingga para analis memberikan julukan 'American Saudi' karena produksi migasnya menyamai Arab Saudi.

Dari sisi harga, pasar bebas di sektor energi mendorong lalu lintas kapital, pengetahuan, keahlian dan teknologi energi ke berbagai negara. Ketiadan sumber daya modal dan teknologi lokal dijawab oleh pergerakan perusahaan energi lintas batas negara.

Makin banyak investasi asing  di sekto hulu dan hilir, makin banyak perusahaan akan meningkatkan produksi sehingga pasokan bertambah. Konsumen dapat menikmati pasokan energi yang stabil dengan harga lebih murah. Kompetisi ketat di antara banyak perusahaan energi mendorong perbaikan kualitas pasokan, distibusi  dan layanan energi kepada konsumen.

Kompetisi ketat dalam memenangkan pangsa pasar juga memaksa perusahaan mengembangkan teknologi yang efisien dan makin ramah lingkungan. Perusahaan juga memiliki motivasi mengembangkan jenis energi yang mudah digunakan, diterima secara sosial dan budaya.

Para pendukung mekanisme pasar, percaya bahwa, pasar energi liberal adalah jalan terbaik menjamin pasokan energi. Kesenjangan pasokan, akibat konflik di suatu wilayah, akan mengirim sinyal dalam bentuk kenaikan harga energi. Sinyal harga direspon cepat oleh pemasok energi dari wilayah lain yang membawa kembali pasokan dan harga ke tingkat equilibrium

Liberalisasi: Janji yang tak Ditepati

Mekanisme pasar, sebagai instrumen keamanan energi, secara konseptual memang menjanjikan. Karena itu, sejak tahun 2000-an, banyak negara mendorong liberalisasi pasar energi. Kebangkitan ideologi neoliberal dalam lembaga-lembaga keuangan dan pembangunan global, seperti IMF dan Bank Dunia, menjadi pendorong utama liberalisasi sektor migas. Di Indonesia, liberalisasi pasar migas berlaku melaliu UU. No 22/2001 tentang minyak dan gas.

Apakah proses liberalisasi sektor energi, khususnya migas meningkatkan keamanan pasokan? Jawabannya tidak selalu berkorelasi positif. Dalam sektor energi, khususnya migas, pasar beroperasi dalam persaingan tidak sempurna. Produsen migas dan juga batubara terpusat pada beberapa negara di Timur Tengah, Amerika Latin, Rusia dan beberapa negara kecil di Asia Tengah. Sementara jumlah negara konsumen jauh lebih besar.

Dalam pasar dengan produsen terbatas, sementara permintaan terus bertumbuh, liberalisasi pasar energi tidak selalu meningkatkan keamanan pasokan. Karena produsen terbatas, negara-negara produsen adalah 'price setter' (penentu harga). Harga dikendalikan melalui keputusan politik menaikkan atau memangkas kuota produksi demi menjaga harga pada tingkat yang tetap memberi keuntungan dan pemasukan negara. Perilaku ini juga dilakulan melalui kartel minyak seperti OPEC.Karena itu pluralitas aktor karena liberalisasi tidak otomatis menurunkan harga energi karena pasar yang tidak sempurna.

Bisnis migas memiliki resiko tinggi, meski keuntungan juga tinggi karena kepastian permintaan pasar. Migas adalah komoditas yang sulit disubsitusi oleh yang lain karena membutuhkan penyesuaian teknologi. Sebuah mobil bensin tidak bisa dengan cepat diganti dengan baterai saat minyak mahal. Ada waktu dan biaya untuk penyesuaian mesin. Karena itu, industri migas selalu memiliki permintaan yang cenderung stabil.

Meskipun demikian, resiko eksplorasi dan eksploitasi juga besar. Resiko membuat perusahaan migas memilih datang ke negara-negara dengan potensi minyak besar, resiko kegagalan produksi kecil dan insentif ekonomi murah hati. Bukan hanya soal pasar liberal atau tidak, tetapi potensi migas dan kebijakan pengurangan resiko menjadi dasar keputusan investasi perusahaan migas di sebuah negara.

Kasus liberalisasi pasar migas di Indonesia dapat menjadi pelajaran penting. Sebagai bagian reformasi ekonomi pasca krisis 1998, Indonesia telah ditekan IMF untuk mereformasi sektor migas. Kebijakan ini dilakukan melalui UU No.22/2001 tentang minyak dan gas.

Inti dari UU ini adalah (1) pengurangan peran   negara dari sektor migas melalui kebijakan deregulasi dan debirokratisasi; (2) pemisahaan sektor hulu dan hilir (unbundling). Pemisahan ini membuat perusahaan yang ingin investasi di sektor hilir migas, misalnya membangun jaringan distibusi, tidak perlu lagi melakukan investasi di hulu; (3) membentuk badan yang mengawasi sektor hulu yakni BP Migas, kemudian jadi SKK Migas dan hilir oleh BPH Migas: (4) Korporatisasi Pertamina. Manajemen perusahaan plat merah ini dipisahkan dari birokrasi pemerintah, dan berubah kedudukannya sama seperti perusahaan swasta.

Liberalisasi tidak menaikkan produksi minyak Indonesia. Tahun 2022, angka lifting minyak hanya mencapai 727.00 barel/hari. Tidak banyak berubah dari tahun sebelumnya. Sebabnya adalah Pertama, pemisahan antara sektor hulu dan hilir membuat perusahaan memilih investasi di sektor hilir yang resikonya lebih rendah. Padahal investasi di hulu adalah kunci peningkatan produksi migas.

Kedua, sumber-sumber minyak Indonesia tidak lagi berada di wilayah Barat yang mudah dijangkau. Sumber-sumber minyak dangkal di Jawa dan Sumatera sudah dieksploitasi. Yang tersisa ada wilayah Indonesia bagian Timur yang secara geografis sulit dijangkau. Resiko kegagalan sangat tinggi sementara biaya eksplorasi tidak bisa ditagih kembali jika sumber minyak tidak ditemukan.

Kasus eksplorasi Satoil di Selat Makasar adalah contohnya. Setelah 6  tahun melakukan studi eksplorasi, cadangan minyak tak ditemukan, padahal perusahaan ini telah mengeluarkan biaya sebesar Rp 2,6 Trilliun  atau sebesar US$ 271 juta  (https://www.merdeka.com).  Biaya ini ditanggung Satoil dan tidak bisa dimasukan ke dalam 'cost recovery' karena gagal menghasilkan minyak.

Ketiga, perubahan sistem bagi hasil dan kebijakan lain juga membuat perusahaan enggan masuk ke Indonesia, meski terjadi liberalisasi sektor migas. Sebelum tahun 2017, Indonesia memberlakukan 'Production sharing contract' (PSC). Sistem ini ditemukan oleh Ibnu Sutowo,  Dirut pertamina antara  1968-976. Katanya dengan meniru model bagi hasil sawah. Seperti penyewa tanah, kontraktor menanggung biaya produksi yang bisa ditagih kembali setelah migas berhasil diproduksi. Produksi minyak setelah dikurangi biaya produksi dibagi di antara pemerintah dan kontraktor. Sama seperti dalam sistem bagi hasil sawah.

Sejak tahun 2017, pemerintah memberlakukan sistem 'gross split' untuk kontrak baru.  Dalam model ini,  hasil produksi migas langsung dibagi di antara pemerintah dan kontraktor. Biaya produksi ditanggung kontraktor dan tidak bisa ditagih kembali saat minyak telah diproduksi. Tujuannya adalah peningkatan efisiensi di pihak kontraktor. Pemerintah hanya mengawasi besaran produksi.

Kebijakan 'gross split' mengurangi beban negara, meningkatkan keuntungan dari sektor migas, mengurangi korupsi dari penyalahgunaan sistem 'cost recovery' dalam PSC. Pada saat bersamaan, gross split menciptakan disisentif bagi investasi baru di sektor migas karena meningkatkan biaya dan resiko kerugian. Dalam kondisi di mana, minyak dan gas dangkal makin sulit, biaya eksplorasi dan produksi makin besar. Pemberlakuan gross split menambah beban resiko perusahaan. Mereka mungkin enggan masuk ke sektor hulu, yang menjelaskan mandegnya angka produksi minyak mentah Indonesia.

Keempat, liberalisasi pasar migas  tidak selalu meningkatkan keamanan pasokan karena energi memiliki dimensi politik. Negara adalah 'natural custodian' (penjaga alamiah) sumber energi. Negara dapat menggunakan energi sebagai alat politik.

Ke dalam, kontrak migas dipakai untuk menjamin dukungan oligarki. Hasil migas membiayai program pembangunan dan kesejahteraan untuk menjamin legitimasi dari rakyat. Ke luar, energi dipakai sebagai alat mencapai kepentingan politik internasional. Pengalaman embargo minyak OPEC tahun 1974 dan Embargo gas Rusia ke Eropa adalah contoh penggunaan energi sebagai senjata politik.

Penggunaan minyak sebagai senjata politik mengganggu stabilitas pasokan dalam pasar energi yang paling liberal sekalipun. Jumlah produsen terbatas dan sifat rendah subsitusi komoditas energi memperburuk dampak 'oil weapon' pada stabilitas pasokan dalam menjamin keamanan energi.

Penutup

Mekanisme pasar tidak secara otomatis menjamin keamanan energi. Sifatnya yang sangat strategis karena mempengaruhi pertahanan, pembangunan, kesejahteraan sosial dan stabilitas politik, membuat keamanan energi menjadi agenda prioritas kebijakan pemerintah. Campuran antara parstispasi swasta dan intervensi negara memberikan fondasai lebih kuat pada keamanan energi nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun