Konflik di  Laut merah akan berdampak negatif pada ekonomi global. Pertama, kenaikan biaya kargo, premi asuransi, resiko diserang kemungkinan akan menurunkan volume  perdagangan lewat jalur itu. Padahal ekonomi dunia baru saja pulih dari stagnasi akibat pandemi Covid 19. Kedua, Kenaikan biaya angkutan akan mendorong kenaikan harga-harga barang konsumen yang melonjakkan angka inflasi global.
Dalam jangka panjang, konflik ini dapat mendorong resesi mengingat ekonomi dunia sudah sangat terintegrasi. Kenaikan biaya transportasi di jalur laut merah akan merambat ke wilayah lain. Inflasi global dicemaskan akan menurunkan volume perdagangan antar negara.
Untuk mencegah dampak buruk konflik pada ekonomi global, Amerika Serikat telah mendesak Cina untuk ikut meredakan konflik  mengingat kedekatan negara ini dengan Iran. Sejauh ini, kapal-kapal kargo Cina aman melewati jalur Laut Merah.
Dampak bagi Indonesia
Satu dampak negatif konflik laut Merah adalah kenaikan harga minyak di pasar internasional. Indonesia, sebagai negara pengimpor minyak menjadi salah satu negara yang menderita akibat lonjakan harga minyak.
Harga minyak mentah menurut WTI (West texas Index) naik dari US$ 73,25 per barel pada 19 Januari 2024, menjadi US$ 80/barel di 13 Februari 2024. OPEC basket Price menunjukkan angka yang lebih tinggi yakni US$ 82/barel pada 14 Pebruari 2024. Sedangkan Brent Index mencatat kenaikan harga sebesar US$ 83,38/barel per 16 Pebruai 2024.
Minyak adalah komoditas yang sangat sensitif  konflik. Sebabnya adalah produksi minyak terkonsentrasi di kawasan tertentu, khususnya Timur Tengah di mana konflik terjadi. Selain itu, peran penting minyak bagi transportasi,  industri dan pertahanan, membuat resiko kelangkaan akibat konflik direspons cepat dengan kenaikan harga.
Jika kenaikan harga minyak meningkat terus, Indonesia akan terkena dampak karena besarnya impor BBM. Angka lifting minyak mentah dalam negeri hanya sebesar 700 ribu barel per hari. Pada tahun 2022, tujuh kilang dalam negeri hanya mampu menghasilkan BBM sebesar 800 ribu barel per hari (https://www.cnbcindonesia.com). Angka ini nampaknya tidak bertambah mengingat belum ada kilang baru yang beroperasi.
Sementara produksi minyak mentah dan BBM dalam negeri rendah, konsumsi BBM Â mencapai 1,4 juta barel perhari. Dari jumlah ini, 600 ribu barel diimpor dari luar.
Kenaikan harga minyak di akibat konflik  menimbulkan tekanan pada APBN yang sudah defisit.  Subsidi energi, khususnya BBM, akan mengalami peningkatan. Pada tahun 2021, realisasi subsidi minyak dan listrik mencapai Rp 157,6 Trilliun, dari rencana sebesar Rp 211,1 Trilliun. Di tahun 2023 sebesar Rp 159,6 trilliun, belum termasuk anggaran kompensasi kenaikan harga BBM.
Kenaikan harga minyak dan subsidi mungkin akan direspon dengan empat  kebijakan. Pertama adalah menaikkan harga BBM untuk menekan angka subsidi. Langkah ini jelas tidak populer, khususnya bagi presiden baru yang sedang 'berbulan madu' dengan pemberi suara.