Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Presiden Baru dan Kelanjutan Neo-Developmentalisme?

14 Februari 2024   23:08 Diperbarui: 15 Februari 2024   14:10 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://news.detik.com/kolom/d-4021236/

Penghitungan suara masih berjalan. Hasil Hitung cepat menunjukkan keunggulan pasangan Parbowo-Gibran. 

Belajar dari pemilu sebelumnya, siapa yang menang dalam hitung cepat hampir pasti menjadi pemenang. Apakah presiden baru akan meneruskan atau merevisi strategi pembangunan warisan Jokowi.

Model pembangunan selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi telah dilabeli sebagai kebangkitan developmentalisme dan disebut neo-developmentalisme.

Developmentalisme lama

Developmentalisme (pembangunanisme) adalah istilah yang dipakai untuk model pembangunan yang populer sepanjang tahun 1970-1990-an di Asia Timur dan Amerika Latin. 

Di Asia Timur, model ini melahirkan negara-negara industri baru seperti Korea Selatan dan Taiwan. Indonesia menerapkan model ini selama pemerintahan Order Baru.

Ciri utama model ini adalah:

(1) ideologi utama adalah pertumbuhan ekonomi berbasis indutrialisasi berskala besar dan cepat. Negara melakukan investasi di berbagai sektor, khususnya industri besi baja, kimia dan industri dengan berteknologi tinggi. 

(2) peran pemerintah yang sangat dominan. Negara melakukan ini dengan tiga cara: mengatur pasar, merencanakan pembangunan bertahap, formasi kapital. 

(3) Karena industri bertujuan mengganti impor, pasar domestik diproteksi dari persaingan internasional. Investasi dikontrol dan stabilitas mata uang dijaga dengan memberlakukan sistem nilai tukar tetap. 

Pembangunan mempengaruhi penataan politik. Industrialisasi berskala besar dan dibiayai utang memiliki resiko tinggi. Karena itu, gangguan pada pembangunan harus ditekan seminimal mungkin. Stabilitas untuk pertumbuhan menjadi prinsip yang dianut pemerintah.

Untuk menjamin stabilitas, negara mengendalikan dan bahkan merepresi kebebasan politik. Partai dikendalikan dan bahkan dibuat kerdil. Partai negara, seperti Glokar di era Soeharto dan PRI di Mexico dominan dalam politik dan menjadi tukang stempel kebijakan pemerintah.

Organisasi sosial bebas dilarang atau dibatasi melalui sistem korporatisme negara. Dalam model ini, negara membentuk, memberi izin dan mengakui organisasi sosial. Di luar itu dianggap liar dan illegal. 

Selama Orde Baru, Serikat pekerja seluruh Indonesia (SPSI) merupakan satu-satunnya organisasi buruh yang diakui. Wartawan harus bergabung dalam PWI (persatuan wartawan Indonesia), Dokter hanya dalam IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Demikian juga profesi lain seperti guru hanya dalam PGRI dan Advokat saat itu harus diangkat pemerintah.

Di Indonesia, Soeharto berkuasa dengan dukungan tentara sebagai institusi. Untuk melegitimasi campur tangan militer dalam politik, negara mengembangkan kebijakan dwi-fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). 

Tentara adalah stabilisator dan dinamisator. Meski tidak memilih, tentara memiliki fraksi sendiri dalam DPR dan menjadi pejabat sipil. 

Tentara menjadi gubernur, Bupati, Camat dan memegang jabatan di lembaga pemerintah lain. Sehingga di bawah Orde Baru, tentara mengalami over representasi politik.

Singkatnya, Kapitalisme negara pembangunan lama adalah kombinasi antara intervensi negara dalam ekonomi dan represi politik. 

Perlawanan kaum butuh dijawab dengan kekerasan. Kritik media dijawab dengan breidel seperti yang dialami Sinar Harapan dan Majalah Tempo. 

Hasil dari semua ini adalah transformasi ekonomi cepat. Indonesia menjadi 'possible dream'. Inflasi dan carut marut ekonomi warisan Orde Lama berhasil diatasi. Indonesia masuk menjadi negara berpendapatan menengah. Ongkosnya adalah hilangnya kemerdekaan politik dan pelanggaran HAM.

Semua berakhir tahun 1998, krisis keuangan Asia menghancurkan fondasi ekonomi rezim Orde Baru. Soeharto kehilangan legitimasi, kohesi elit pecah dan tekanan gerakan mahasiswa memaksa Soeharto mundur tahun 1998. Rezim Developmentalisme Lama berakhir.

https://news.detik.com/kolom/d-4021236/
https://news.detik.com/kolom/d-4021236/

Neo-Developmentalisme

Ketika Jokowi berkuasa, Kebijakan pembangunan menunjukkan ciri-ciri developmentalisme tetapi dengan karakter berbeda. Para pengamat menyebutnya sebagai neo-devlopementalisme. 

Negara yang omnipotent (berkuasa) dan Omnipresent (hadir di mana-mana) bangkit lagi tetapi dengan pola yang berbeda. Peran negara menguat dalam ekonomi, politik dan kebijakan sosial.

Pertama, jika developmentalisme Orde Baru berbasis ideologi merkantilis yang dicirikan dengan proteksi berlebihan, ekonomi Indonesia di bawah Jokowi bergerak jauh ke kanan, ekonomi pasar liberal. Kebijakan investasi asing sangat ramah terhadap bisnis internasional. 

Untuk itu, berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi digencarkan sejak Jokowi berkuasa. Omnibus Law atau UU Cipta Kerja yang tebalnya lebih dari 1000 halaman adalah bagian dari upaya meningkatkan daya saing menarik investasi asing.

Kebijakan ekonomi pasar juga diterjemahkan ke dalam liberalisasi impor, liberalisasi lebih lanjut dalam pasar keuangan dan sektor lainnya. 

Semua kebijakan liberal yang telah dimulai sejak awal tahun 2000 memperkuat integrasi ekonomi Indonesia ke pasar Global.

Kedua, negara aktif dalam ekonomi melalui pembangunan infrastuktur. Jokowi membangun jaringan jalan tol, rel kereta api baru, puluhan bandar udara dan pelabuhan. 

Selama 30 berkuasa, Soeharto hanya membangun 564,88 Km Jalan tol. SBY menambah 355,72 Km Tol. Sementara Jokowi 1713, 83 Km Jalan tol selama 9 tahun menjadi presiden (https://www.cnbcindonesia.com). 

Anggaran infrastruktur menjadi prioritas. Selama tahun 2015-2023, anggaran infrastruktur jalan mencapai Rp 489, 31 triullin. Di sektor tranportasi udara, Jokowi membangun 25 bandara baru dan merevitalisasi 38 bandara antara tahun 2015-2023.

Ketiga, Developmentalisme lama ditopang oleh rezim otoriter birokratis. Neo-developmentalisme berjaan dalam rezim politik demokratis. 

Meskipun demikian, oposisi terhadap pemerintah lemah karena partai dikendalikan melalui akomodasi politik. Gerindra yang diharapkan menjadi oposisi kuat ikut bergabung dalam pemerintah. 

Partai-partai yang memiliki potensi menjadi oposisi juga diberi kursi menteri. Hanya PKS dan Demokrat yang tetap berada di luar pemerintahan. 

Dalam kondisi ini, negara tetap 'omnipotent' meski sistem politik demokratis. Dampaknya adalah hampir tidak ada perlawanan berarti terhadap kebijakan pembangunan pemerintah selama Jokowi berkuasa.

Keempat, negara juga 'omnipresent' melalui kebijakan sosial. Negara hadir di mana-mana melalui upaya pengurangan ketimpangan sosial. 

Subsidi, terutama subsidi BBM sempat turun di awal pemerintahan Jokowi yakni 2014-2015. Subsidi kemudian dinaikkan lagi pada tahun-tahun sesudahnya. 

Subsidi memang bertujuan meringankan beban masyarakat, tetapi saat bersamaan subsidi juga merupakan alat negara untuk membangun legitimasi. 

Selain subsidi, belanja sosial juga disalurkan melalui berbagai macam kartu, seperti kartu Indonesia pintar dan Kartu Indonesia sehat. 

Program belanja sosial menghadirkan sebuah pemerintah yang 'benovelent' (murah hati) dan ini menjelaskan mengapa tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi terus tinggi.

Bagaimana Presiden Baru?

Apakah presiden baru akan melanjutkan model neo-developmentalisme? Sangat mungkin karena model ini, khususnya belanja sosial, telah menarik dukungan publik terhadap pemerintah Jokowi selama 2 periode. 

Meskipun demikian, ada beberapa tantangan yang dihadapi Prabowo jika meneruskan kebijakan neo-developmentalisme.

Pertama adalah ruang fisikal yang makin terbatas. Peran negara yang besar membutuhkan anggaran besar. Sementara Subsisi BBM dan pandemi Covid meningkatkan tekanan pada APBN Indonesia. 

Defisit APBN di tahun 2020 mencapai 6,1 % dari PDB. Di tahun 2022 menurun menjadi 4,8 5 % dari PDB Indonesia atau sebesar Rp 868 trilliun (https://koran-jakarta.com/defisit-apbn-2022). 

Mempertahankan kebijakan neo-developementalisme membutuhkan tambahan pendapatan negara untuk mencegah peningkatan defisit. Di tengah berbagai konflik, harga minyak global cenderung meningkat. 

Angka lifting minyak dalam negeri baru mencapai 700-800 ribu barel per hari, sedangkan kebutuhan mencapai 1,4 juta barel per hari. Dengan demikian, impor minyak akan tetap tinggi. Karena minyak disubsidi, kenaikan harga minyak akan menambah defisit APBN

Kedua, sumber pembiayaan. Peran negara yang luas buuth sumber pendapatan luas. Presiden baru harus mutar otak untuk mencari sumber pembiayaan baru. 

Pilihan adalah menambah utang baru atau menaikkan pajak. Ini dua pilihan sulit. Jumlah utang sudah sangat besar. Sampai Agustus 2023, Utang luar negeri Indonesia telah mencapai Rp US$395,15 miliar atau Rp 6.203 triliun (kurs 15.700) ( https://www.cnbcindonesia.com). 

Pada tahun 2022, Debt Service Ration (DSR) Indonesia sebesar 18 % dari PDB. Penambahan utang terus-menerus untuk menutup defisit bisa menjebak Indonesi ke dalam 'pembangunan melayani utang'. Kenaikan penerimaan negara tidak dipakai untuk pembagunan, tetapi untuk membayar utang.

Pilihan lain adalah menaikkan atau memperluas pajak. Ini pilihan yang tidak mudah. Menaikkan pajak kelompok kaya tidak mudah karena pajak besar menurunkan minat perluasan investasi baru. 

Pengusaha akan enggan menambah investasi karena beban pajak kekayaan dan penghasilan yang makin besar. Perluasan jenis pajak adalah alternatif lain. 

Di Australia, misalnya, ada Good and service tax (GST). Semua jenis kegiatan produksi dan jasa dikenai pajak. Apa pun skala usaha dan pekerjaan harus bayar pajak. 

Tukang potong rambut harus bayar pajak, sementara di Indonesia, usaha perorangan dan mikro masih banyak yang bebas pajak. Perluasan jenis pajak masih mungkin dilakukan. Secara politik kebijakan ini tidak populer karena membebani rakyat kecil.

Ketiga, Manajemen politik dan dukungan partai pada kebijakan. Keberhasilan Jokowi 'mempasifkan' partai adalah salah satu kunci keberhasilan pemerintahan. Sementara, PDIP sebagai partai pendukung juga memiliki kursi banyak di parlemen. 

Prabowo, sebagai presiden baru nanti didukung oleh koalisi besar. Perolehan kursi partai dalam pemilu kali ini belum final. Sementara PDIP menempati urutan pertama. 

Apakah nanti total kursi partai pendukung presiden baru menjadi mayoritas di parlemen menentukan pola dan derajat dukungan politik pada kebijakan ne-developmentalisme presiden baru?

Keadilan membagi jatah kursi menteri juga menentukan kohesi pemerintah. Apakah PDIP juga mau bergabung ke pemerintahan? Lalu siapa yang mengontrol pemerintah?

Semua jawaban pada pertanyaan ini menentukan kohesi pemerintahan yang memberikan dasar legitimasi kuat pada kebijakan pemerintahan baru. 

Manajemen konflik dalam tubuh koalisi dan pemerintahan baru akan sangat menentukan.

Penutup

Negara memang harus hadir. Tetapi untuk hadir di mana-mana negara membutuhkan sumber daya ekonomi dan politik yang besar. 

Menyediakan keduanya adalah tantangan besar presiden baru. Lingkungan ekonomi gloal yang makin kompetitif, harga minyak yang cenderung naik, penduduk besar dan wilayah luas tidak hanya membutuhkan kenegarawanan, tetapi juga kecermatan dalam mengelola sumber daya dan pemerintahan. 

Lupakan perbedaan politik dalam pemilu, presiden baru perlu didukung demi kemashlatan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun