Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Presiden Baru dan Kelanjutan Neo-Developmentalisme?

14 Februari 2024   23:08 Diperbarui: 15 Februari 2024   14:10 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://news.detik.com/kolom/d-4021236/

Meskipun demikian, ada beberapa tantangan yang dihadapi Prabowo jika meneruskan kebijakan neo-developmentalisme.

Pertama adalah ruang fisikal yang makin terbatas. Peran negara yang besar membutuhkan anggaran besar. Sementara Subsisi BBM dan pandemi Covid meningkatkan tekanan pada APBN Indonesia. 

Defisit APBN di tahun 2020 mencapai 6,1 % dari PDB. Di tahun 2022 menurun menjadi 4,8 5 % dari PDB Indonesia atau sebesar Rp 868 trilliun (https://koran-jakarta.com/defisit-apbn-2022). 

Mempertahankan kebijakan neo-developementalisme membutuhkan tambahan pendapatan negara untuk mencegah peningkatan defisit. Di tengah berbagai konflik, harga minyak global cenderung meningkat. 

Angka lifting minyak dalam negeri baru mencapai 700-800 ribu barel per hari, sedangkan kebutuhan mencapai 1,4 juta barel per hari. Dengan demikian, impor minyak akan tetap tinggi. Karena minyak disubsidi, kenaikan harga minyak akan menambah defisit APBN

Kedua, sumber pembiayaan. Peran negara yang luas buuth sumber pendapatan luas. Presiden baru harus mutar otak untuk mencari sumber pembiayaan baru. 

Pilihan adalah menambah utang baru atau menaikkan pajak. Ini dua pilihan sulit. Jumlah utang sudah sangat besar. Sampai Agustus 2023, Utang luar negeri Indonesia telah mencapai Rp US$395,15 miliar atau Rp 6.203 triliun (kurs 15.700) ( https://www.cnbcindonesia.com). 

Pada tahun 2022, Debt Service Ration (DSR) Indonesia sebesar 18 % dari PDB. Penambahan utang terus-menerus untuk menutup defisit bisa menjebak Indonesi ke dalam 'pembangunan melayani utang'. Kenaikan penerimaan negara tidak dipakai untuk pembagunan, tetapi untuk membayar utang.

Pilihan lain adalah menaikkan atau memperluas pajak. Ini pilihan yang tidak mudah. Menaikkan pajak kelompok kaya tidak mudah karena pajak besar menurunkan minat perluasan investasi baru. 

Pengusaha akan enggan menambah investasi karena beban pajak kekayaan dan penghasilan yang makin besar. Perluasan jenis pajak adalah alternatif lain. 

Di Australia, misalnya, ada Good and service tax (GST). Semua jenis kegiatan produksi dan jasa dikenai pajak. Apa pun skala usaha dan pekerjaan harus bayar pajak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun