Ketiga, Developmentalisme lama ditopang oleh rezim otoriter birokratis. Neo-developmentalisme berjaan dalam rezim politik demokratis.Â
Meskipun demikian, oposisi terhadap pemerintah lemah karena partai dikendalikan melalui akomodasi politik. Gerindra yang diharapkan menjadi oposisi kuat ikut bergabung dalam pemerintah.Â
Partai-partai yang memiliki potensi menjadi oposisi juga diberi kursi menteri. Hanya PKS dan Demokrat yang tetap berada di luar pemerintahan.Â
Dalam kondisi ini, negara tetap 'omnipotent' meski sistem politik demokratis. Dampaknya adalah hampir tidak ada perlawanan berarti terhadap kebijakan pembangunan pemerintah selama Jokowi berkuasa.
Keempat, negara juga 'omnipresent' melalui kebijakan sosial. Negara hadir di mana-mana melalui upaya pengurangan ketimpangan sosial.Â
Subsidi, terutama subsidi BBM sempat turun di awal pemerintahan Jokowi yakni 2014-2015. Subsidi kemudian dinaikkan lagi pada tahun-tahun sesudahnya.Â
Subsidi memang bertujuan meringankan beban masyarakat, tetapi saat bersamaan subsidi juga merupakan alat negara untuk membangun legitimasi.Â
Selain subsidi, belanja sosial juga disalurkan melalui berbagai macam kartu, seperti kartu Indonesia pintar dan Kartu Indonesia sehat.Â
Program belanja sosial menghadirkan sebuah pemerintah yang 'benovelent' (murah hati) dan ini menjelaskan mengapa tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi terus tinggi.
Bagaimana Presiden Baru?
Apakah presiden baru akan melanjutkan model neo-developmentalisme? Sangat mungkin karena model ini, khususnya belanja sosial, telah menarik dukungan publik terhadap pemerintah Jokowi selama 2 periode.Â