Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Memahami Konteks Pemberdayaan Komunitas

3 Februari 2024   08:27 Diperbarui: 7 Februari 2024   05:04 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Praktek pemberdayaan masyarakat berkembang sebagai kritik terhadap dua praktek pembangunan. Pertama, modernisasi dan industrialisasi sejak 1970-an mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Meskipun demikan, pertumbuhan ekonomi disertai dengan ketimpangan sosial yang tajam. Kedua, ketimpangan sosial ekonomi kemudian diatasi dengan pendekatan kebutuhan dasar di tahun 1980an.

Dalam model ini, negara mencoba mendorong pemerataan pendidikan, kesehatan, sanitasi dasar seperti air bersih, makanan dan gizi.

Pendekatan ini kemudian dikritik karena meningkatkan ketergantungan masyarakat pada negara, menempatkan warga sebagai obyek, menciptakan budaya 'menunggu pemerintah' dan menurunkan produktivitas masyarakat.

Pemberdayaan Komunitas

Komunitas adalah sekumpulan orang yang disatukan oleh (1) kesamaan lokasi geografis dan tempat tinggal, misalnya komunitas kampung tertentu; (2) kesatuan administratif seperti rukun tetangga, rukun warga; (2) kesamaan asal usul etnis atau kultural seperti komunitas orang Madura atau orang Yogya di Jakarta; (3) kesamaan profesi atau aktivitas waktu luang atau aktivitas lain.

Satu ciri penting dalam komunitas adalah adanya interaksi terus menerus dalam jangka panjang, ikatan emosional yang kuat, norma-norma bersama atau memiliki aktivitas tertentu.

Dengan demikian komunitas dapat berupa kampung, RT, RW, profesi seperti pedagang atau nelayan, masjid atau gereja dan lembaga keagamaan lain, perkumpulan hobi seperti olah raga sepeda.

Dalam proses pembangunan komunitas, pemberdayaan menjadi satu dimensi sentral. Narayan (2005) menjelaskan pemberdayaan sebagai "perluasan aset dan kapabilitas kaum miskin untuk berpartsipasi dalam, bernegosiasi dengan, mempengaruhi, ikut mengontrol dan menjamin pertanggungjawaban lembaga-lembaga yang berpengaruh pada hidup mereka". 

Pemberdayaan adalah proses dan tujuan pembangunan komunitas. Sebagai proses, pemberdayaan melibatkan anggota komunitas dalam identifikasi masalah sosial yang hendak diatasi, dilibatkan dalam proses perencanaan, melibatkan anggota komunitas dalam implementasi, pengoranisasian program dan evaluasi.

Sebagai tujuan, pemberdayaan menghasilkan 'kebebasan anggota komunitas dari' agar memiliki 'kebebasan untuk'. Membebaskan mereka dari kemiskinan, keterbatasan informasi dan pengetahuan, dari penyakit, dari kelaparan, dari hambatan fisik dan psikologis lain, agar bisa bebas untuk bergerak, bepergian, memilih pekerjaan, memperoleh pengetahuan, berpartisipasi dalam kehidupan sosial, mengakses dan memanfaatkan fasilitas dasar dan kebebasan lain.

https://www.ruangguru.com/blog/
https://www.ruangguru.com/blog/

Kaum miskin memiliki Aset dan kapasitas

Kaum miskin mungkin memiliki kapasitas dan aset untuk bertindak dan mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. Aset itu bisa berupa milik individu atau dimiliki secara kolektif oleh komunitas. Aset individu bisa berupa tanah, hewan, rumah; diri sendiri atau anggota keluarga sebagai tenaga kerja; hubungan keluarga, suku, budaya atau relasi sosial lain dan kondisi psikologis yakni niat untuk meningkatkan taraf hidup. Mereka juga memiliki kemampuan dasar untuk bekerja, melihat peluang kemajuan dan mengambil inisiatif.

Di satu sisi, orang-orang paling tidak berdaya dalam komunitas mungkin tidak memiliki aset material. Di sisi lain mereka mungkin memiliki kapasitas psikologis dan kualitas kepribadian yang dapat dimanfaatkan dalam upaya sering dianggap tidak memiliki aset dan kemampaun.

Dalam realitas mereka sebenarnya mempunyai sesuatu yang menjadi dasar bagi peningkatan kesejahteraan mereka. Misalnya seorang tukang becak atau petani memiliki kesehatan, kemauan, tenaga, kejujuran, niat, kredibilitas sosial sebagai 'orang baik dan bisa dipercayai'.

Melalui sistem jaminan kolektif, kapasitas dan kualitas ini harusnya dapat menjadi 'modal' untuk mengakses program atau melibatkan mereka sebagai peserta aktif dalam program pemberdayaan ekonomi atau program lain.

Aset dan kapabilitas individual bisa ditopang oleh aset dan kapabilitas kolektif. Sebagai anggota komunitas, orang miskin dapat menyuarakan aspirasi mereka melalui organisasi komunitas.

Bentuknya bisa berupa perkumpulan, lembaga sosial dan keagamaan, rukun tetangga, rukun warga, paguyuban, kelompok perempuan, kelompok petani dan nelayan atau organisasi komunitas lain.

Organisasi-organisasi ini juga bisa menjadi bentuk perwakilan orang miskin, selain perwakilan formal melalui badan perwakilan desa atau lembaga perwakilan informal di tingkat lokal. 

Kesamaan identitas, yakni kesadaran seseorang tentang siapa dirinya, dan komunitas mana ia menjadi bagian merupakan aset penting lain. Identitas dapat didasari kesamaan tempat tinggal, kesamaan pengalaman, kesamaan asal, suku, budaya, agama atau nasib.

Dalam kaitan dengan pemberdayaan, identitas mempengaruhi kekuatan ikatan antar anggota kelompok, kesadaran akan tanggung jawab bersama, proses pelibatan ke dalam program pembangunan komunitas.

Dalam pengembangan ternak Sapi di Pulau Raas, misalnya, jauh lebih mudah bagi pendamping membangun dukungan sosial karena baik pendamping maupun anggota kelompok berasal dari RT, RW, desa atau pulau dengan kebudayaan yang sama. Kesamaan identitas mempermudah kapasitas perorganisasi dan partisipasi anggota komunitas dalam program pemberdayaan.

Perlunya memahami konteks

Program-program pemberdayaan yang berhasil atau tidak berhasil dipengaruhi oleh kombinasi banyak faktor. Konteks kelembagaan, faktor lingkungan sosial dan politik, kapasitas individual, modal kolektif.

Sebagai pendamping, kesadaran akan konteks, membantu mengindetifikasi struktur kesempatan yang membuat program pemberdayaan berhasil.

Yang dimaksud struktur kesempatan adalah situasi, kondisi, faktor, peluang yang mempermudah proses pemberdayaan komunitas. Konteks sangat mempengaruhi keberhasilan program pemberdayaan. Pembuat kebijakan atau pendamping perlu menyadari konteks kelembagaan di mana proyek dijalankan.

Pertama, adalah konteks regulasi. Anggota komunitas yang dikelompokkan kurang sejahtera mungkin memiliki sebidang kecil tanah, rumah atau tenaga mereka sendiri. Aset ini tidak bisa digunakan sebagai modal dasar kegiatan ekonomi, karena lembaga keuangan formal tidak mengakui kepemilikan tersebut.

Sebabnya adalah undang-undang kepemilikan pribadi yang mengharuskan sertifikasi aset. Lembaga keuangan modern juga tidak mengakui 'kredibilitas sosial', 'kejujuran', 'kerja keras' sebagai aset yang dapat dipertukarkan dengan modal. Tidak berfungsinya pasar keuangan modern dalam pertukaran aset tanpa sertifikat seringkali mempersulit pemberdayaan ketika hendak melibatkan sektor perbankan.

Kedua, konteks derajat transparansi informasi. Untuk anggota komunitas yang miskin tetapi memiliki aset dasar, informasi tentang prosedur sertifikasi aset sering tidak tersedia. Orang miskin tidak tahu bagaimana mengurus sertifikat, bagaimana prosedur, ke mana mereka harus mengurus, berapa lama dan berapa biayanya. Karena informasi adalah komoditas, transparansi informasi menjadi keharusan untuk mencegah naiknya biaya bagi orang miskin dalam mengakses pelayanan dasar.

Ketiadaan transparansi membuat informasi diperdagangkan oleh aktor yang disebut 'orang dalam', 'calo' atau perantara. Salah satu contoh sederhana adalah pengurusan Kartu Tanda Penduduk.

Di banyak desa, prosedur pengurusan KTP tidak diumumkan secara terbuka dan muda diakses. Dampaknya adalah orang harus menggunakan jasa calo atau orang dalam. Karena KTP adalah syarat dasar untuk mengakses pelayanan publik seperti BPJS, Kartu Pintar dan kartu-kartu lain, warga desa mau tidak mau harus memiliki KTP.

Sementara prosedur yang tidak transparan membuat warga, termasuk mereka yang miskin, mengeluarkan biaya tambahan.

Ketiga, konteks demokrasi lokal. Lembaga-lembaga publik di tingkat lokal dan regional kurang memberi kesempatan pada kelompok marjinal untuk terlibat dalam pembuatan keputusan.

Dampaknya adalah kebijakan yang dibuat kadang tidak mengakomodasi aspirasi dan menjawab kebutuhan paling penting dari kelompok-kelompok marjinal. Jenis program yang dikembangkan nampaknya seolah-olah melayani kebutuhan sebagin besar masyarakat. Dalam kenyataan program tersebut melayani kebutuhan elit dan kelompok yang kuat.

Keempat, konteks kapasitas organisai setermpat. Masyarakat memiliki berbagai bentuk organisasi yang sudah beroperasi sangat lama. Identifikasi terhadap kapasitas dan efektifitas organisasi lokal menjadi satu tindakan penting dalam program pemberdayaan. Organisasi-organisasi lokal yang berfungsi dengan baik dapat dimanfaatkan dalam program pemberdayaan. Membentuk organisasi baru membutuhkan waktu, energi dan kesabaran.

Dalam beberapa kasus, program pemberdayaan yang berhasil karena memanfaatkan organisasi lokal formal atau informal yang sudah berfungsi dalam kelompok yang menjadi sasaran program

Kelima, konteks struktur sosial dan budaya. Struktur sosial berkaitan dengan pola-pola pelapisan dalam komunitas. Struktur menunjuk pada siapa yang menjadi elit lokal, kelompok menengah dan 'orang kebanyakan'. Siapa yang menjadi tokoh, siapa yang berpengaruh, menjadi pemimpin dan pengikut.

Struktur sosial memiliki dua sisi dalam hubungan dengan program pemberdayaan. Bisa mendukung atau menghambat. Karena itu, kejelian mengidentifikasi struktur pengaruh dalam komunitas, membantu proses mobilisasi dukungan sosial terhadap program pemberdayaan

Keenam, Pola-pola konflik dan kerjasama setempat. Pola-pola konflik dan kerjasama juga perlu dipahami sebelum sebuah program pemberdayaan dilakukan.

Tindakan ini dilakukan agar program pemberdayaan tidak mempertajam konflik sosial yang ada. Dalam komunitas di mana terjadi konflik yang kompleks, kerjasama mungkin sulit berkembang. Intervensi program melalui satu kelompok akan dilihat sebagai bentuk 'pilih kasih' oleh kelompok lain. Konflik dan pembelahan sosial yang tajam akan menghambat program pemberdayaan. Karena itu, pemetaan konflik perlu dilakukan sebelum program dijalankan.

Penutup

Konteks ikut mepengaruhi keminskinan dan keterbelakangan. Pemahaman pada konteks mempengaruhi seluruh proses pemberdayaan. Sikap mengabaikan konteks menyebabkan banyak program pemberdayaan mengalami kegagalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun