Dalam pengembangan ternak Sapi di Pulau Raas, misalnya, jauh lebih mudah bagi pendamping membangun dukungan sosial karena baik pendamping maupun anggota kelompok berasal dari RT, RW, desa atau pulau dengan kebudayaan yang sama. Kesamaan identitas mempermudah kapasitas perorganisasi dan partisipasi anggota komunitas dalam program pemberdayaan.
Perlunya memahami konteks
Program-program pemberdayaan yang berhasil atau tidak berhasil dipengaruhi oleh kombinasi banyak faktor. Konteks kelembagaan, faktor lingkungan sosial dan politik, kapasitas individual, modal kolektif.
Sebagai pendamping, kesadaran akan konteks, membantu mengindetifikasi struktur kesempatan yang membuat program pemberdayaan berhasil.
Yang dimaksud struktur kesempatan adalah situasi, kondisi, faktor, peluang yang mempermudah proses pemberdayaan komunitas. Konteks sangat mempengaruhi keberhasilan program pemberdayaan. Pembuat kebijakan atau pendamping perlu menyadari konteks kelembagaan di mana proyek dijalankan.
Pertama, adalah konteks regulasi. Anggota komunitas yang dikelompokkan kurang sejahtera mungkin memiliki sebidang kecil tanah, rumah atau tenaga mereka sendiri. Aset ini tidak bisa digunakan sebagai modal dasar kegiatan ekonomi, karena lembaga keuangan formal tidak mengakui kepemilikan tersebut.
Sebabnya adalah undang-undang kepemilikan pribadi yang mengharuskan sertifikasi aset. Lembaga keuangan modern juga tidak mengakui 'kredibilitas sosial', 'kejujuran', 'kerja keras' sebagai aset yang dapat dipertukarkan dengan modal. Tidak berfungsinya pasar keuangan modern dalam pertukaran aset tanpa sertifikat seringkali mempersulit pemberdayaan ketika hendak melibatkan sektor perbankan.
Kedua, konteks derajat transparansi informasi. Untuk anggota komunitas yang miskin tetapi memiliki aset dasar, informasi tentang prosedur sertifikasi aset sering tidak tersedia. Orang miskin tidak tahu bagaimana mengurus sertifikat, bagaimana prosedur, ke mana mereka harus mengurus, berapa lama dan berapa biayanya. Karena informasi adalah komoditas, transparansi informasi menjadi keharusan untuk mencegah naiknya biaya bagi orang miskin dalam mengakses pelayanan dasar.
Ketiadaan transparansi membuat informasi diperdagangkan oleh aktor yang disebut 'orang dalam', 'calo' atau perantara. Salah satu contoh sederhana adalah pengurusan Kartu Tanda Penduduk.
Di banyak desa, prosedur pengurusan KTP tidak diumumkan secara terbuka dan muda diakses. Dampaknya adalah orang harus menggunakan jasa calo atau orang dalam. Karena KTP adalah syarat dasar untuk mengakses pelayanan publik seperti BPJS, Kartu Pintar dan kartu-kartu lain, warga desa mau tidak mau harus memiliki KTP.
Sementara prosedur yang tidak transparan membuat warga, termasuk mereka yang miskin, mengeluarkan biaya tambahan.