Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Memahami Konteks Pemberdayaan Komunitas

3 Februari 2024   08:27 Diperbarui: 7 Februari 2024   05:04 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam pengembangan ternak Sapi di Pulau Raas, misalnya, jauh lebih mudah bagi pendamping membangun dukungan sosial karena baik pendamping maupun anggota kelompok berasal dari RT, RW, desa atau pulau dengan kebudayaan yang sama. Kesamaan identitas mempermudah kapasitas perorganisasi dan partisipasi anggota komunitas dalam program pemberdayaan.

Perlunya memahami konteks

Program-program pemberdayaan yang berhasil atau tidak berhasil dipengaruhi oleh kombinasi banyak faktor. Konteks kelembagaan, faktor lingkungan sosial dan politik, kapasitas individual, modal kolektif.

Sebagai pendamping, kesadaran akan konteks, membantu mengindetifikasi struktur kesempatan yang membuat program pemberdayaan berhasil.

Yang dimaksud struktur kesempatan adalah situasi, kondisi, faktor, peluang yang mempermudah proses pemberdayaan komunitas. Konteks sangat mempengaruhi keberhasilan program pemberdayaan. Pembuat kebijakan atau pendamping perlu menyadari konteks kelembagaan di mana proyek dijalankan.

Pertama, adalah konteks regulasi. Anggota komunitas yang dikelompokkan kurang sejahtera mungkin memiliki sebidang kecil tanah, rumah atau tenaga mereka sendiri. Aset ini tidak bisa digunakan sebagai modal dasar kegiatan ekonomi, karena lembaga keuangan formal tidak mengakui kepemilikan tersebut.

Sebabnya adalah undang-undang kepemilikan pribadi yang mengharuskan sertifikasi aset. Lembaga keuangan modern juga tidak mengakui 'kredibilitas sosial', 'kejujuran', 'kerja keras' sebagai aset yang dapat dipertukarkan dengan modal. Tidak berfungsinya pasar keuangan modern dalam pertukaran aset tanpa sertifikat seringkali mempersulit pemberdayaan ketika hendak melibatkan sektor perbankan.

Kedua, konteks derajat transparansi informasi. Untuk anggota komunitas yang miskin tetapi memiliki aset dasar, informasi tentang prosedur sertifikasi aset sering tidak tersedia. Orang miskin tidak tahu bagaimana mengurus sertifikat, bagaimana prosedur, ke mana mereka harus mengurus, berapa lama dan berapa biayanya. Karena informasi adalah komoditas, transparansi informasi menjadi keharusan untuk mencegah naiknya biaya bagi orang miskin dalam mengakses pelayanan dasar.

Ketiadaan transparansi membuat informasi diperdagangkan oleh aktor yang disebut 'orang dalam', 'calo' atau perantara. Salah satu contoh sederhana adalah pengurusan Kartu Tanda Penduduk.

Di banyak desa, prosedur pengurusan KTP tidak diumumkan secara terbuka dan muda diakses. Dampaknya adalah orang harus menggunakan jasa calo atau orang dalam. Karena KTP adalah syarat dasar untuk mengakses pelayanan publik seperti BPJS, Kartu Pintar dan kartu-kartu lain, warga desa mau tidak mau harus memiliki KTP.

Sementara prosedur yang tidak transparan membuat warga, termasuk mereka yang miskin, mengeluarkan biaya tambahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun