Tidak cuma ngopi, tapi bisa makan kenyang disini. Dok : Florentina Retno
Saat bu Ida mengatakan ada menu nasi daun jati, hatiku bersorak kegirangan dan mungkin beberapa teman juga melihat ekspresi itu di wajahku. Aku memang sudah lama merindukan nasi  yang dibungkus dengan daun jati, soalnya waktu kecil aku sering mencicipi nasi daun jati di rumah nenek. Tapi seiring perkembangan jaman, daun jati sudah tergantikan dengan nasi kotak yang lebih praktis. Padahal aroma nasi yang dibungkus dengan daun jati memberikan kekhasan tersendiri.
Isi nasi daun jati. Dokpri
Tidak lama kemudian nasi daun jati sudah berpindah ke piring seng bergambar bunga yang ada di tanganku. Tapi tidak hanya satu bungkus nasi daun jati, berbagai lauk dan sayur khas rumahan juga berhasil aku pindahkan ke piring. Satu tusuk sate telur puyuh dan jajanan pasar seolah menggodaku untuk kembali mengingat jajanan yang dibelikan nenek saat pulang dari pasar. Â
Aneka sate termasuk sate usus dan sate telur puyuh. Dokpri
Setelah selesai menyantap hidangan yang membuat perut kenyang, rasanya kurang kalau belum leyeh-leyeh di kursi rotan dengan segelas teh panas. Menyeruput teh panas ditemani hembusan angin senja yang berbisik diantara dedaunan, seolah melupakan sejenak tentang pandemi yang tak kunjung usai. Rasa bosan dengan aktivitas sehari-hari juga ikut menghilang bersama hembusan angin senja di Kopi Lumbung Mataram.
Foto dulu sebelum pulang, tentunya difotoin mbak Vika. Dokpri
Waktu bergulir begitu cepat, sampai akhirnya matahari sudah tenggelam dan aku harus pulang meninggalkan semua ketenangan yang dihadirkan oleh Kopi Lumbung Mataram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!