Mohon tunggu...
niken nawang sari
niken nawang sari Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga. Kadang nulis juga di www.nickenblackcat.com

Ibu Rumah Tangga yang suka jalan-jalan ke bangunan kolonial, suka menulis hal berbau sejarah, dan suka di demo 2 ekor kucing. Blog pribadi www.nickenblackcat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menelusuri Jejak Sejarah di Bumi Mataram bersama Komunitas Kandang Kebo

28 Agustus 2019   21:54 Diperbarui: 28 Agustus 2019   22:38 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta Menapak Jejak Sejarah. Dok : Maria Kandang Kebo

Saat sang surya mulai menampakkan diri di ufuk timur, saat itu pula aktifitas mulai menggeliat walaupun hari libur. CFD (Car Free Day), jalan santai, berangkat ke pasar, atau sekedar cari sarapan pagi bersama keluarga adalah kegiatan pada umumnya di Minggu pagi.

Tetapi pada hari Minggu, 25 Agustus 2019 merupakan hari yang sibuk bagiku dan teman-teman karena kami mengikuti sebuah acara bertema Menapak Jejak Sejarah bersama Komunitas Kandang Kebo yang didukung oleh BPCB DIY (Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta).

Halaman BPCB DIY yang biasanya sepi di hari Minggu, terlihat ramai dengan banyaknya peserta yang mengikuti acara menapak jejak sejarah. Dengan berseragam orange, peserta mulai berkumpul tepat pukul 08.00 untuk pembukaan acara dan tidak lupa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Setelah itu ada sambutan dari komunitas Kandang Kebo selaku penyelenggara dan sambutan dari pihak BPCB DIY.

Melihat Koleksi Peninggalan Mataram Kuno di BPCB DIY

Sejak menginjakkan kaki di halaman kantor BPCB DIY, sudah banyak terlihat peninggalan masa Hindu Budha berupa arca dan batu candi.

Batu candi di halaman BPCB DIY. Dokpri
Batu candi di halaman BPCB DIY. Dokpri
Setelah mengikuti pembukaan, peserta dibagi ke dalam dua kelompok yang kemudian diajak berkeliling BPCB DIY untuk melihat koleksi arca dan bebatuan candi. Arca-arca yang masih tergeletak di bagian luar kantor yang paling menarik bagiku adalah arca Ganesha. Selama ini kebanyakan orang awam sepertiku pasti tidak memperhatikan bahwa arca Ganesha asli ternyata hanya memiliki satu gading saja.

Arca Ganesha di BPCB DIY. Dokpri
Arca Ganesha di BPCB DIY. Dokpri
Di dalam kantor BPCB DIY ruang koleksi logam dan batuan candi termasuk arca dipisah. Jadi saat kita memasuki ruangan sebelah kiri, kita akan menemukan koleksi bebatuan candi dan arca yang sudah diberi keterangan singkat di dekatnya.

Sebaliknya di ruangan sebelah kanan terdapat koleksi berbahan logam seperti peralatan ibadah semasa hindu budha , perhiasan logam dan sebagainya dari seluruh wilayah DIY. Nah tujuan dibuatnya arca semasa hindu budha adalah untuk memanggil para dewa saat beribadah. Oleh karena itu ada aturan saat membuat arca agar arca terlihat proporsional.

Mengunjungi Candi Kedulan

Candi Kedulan masih dalam proses. Dokpri
Candi Kedulan masih dalam proses. Dokpri
Untuk menuju Candi Kedulan disediakan transportasi berupa bus, letak Candi Kedulan ini secara administratif masuk ke dalam Kabupaten Sleman. Candi Kedulan merupakan Candi Hindu, dengan batu andesit berwarna hitam yang ditemukan di tahun 1993. Informasi lengkap tentang candi Kedulan ada di pendopo sebelah timur kompleks candi.

Beruntung sekali atap candi Kedulan ini masih ada, jadi batuan candi masih bisa disusun membentuk bangunan candi yang cantik. Untuk saat ini tidak dikenakan tarif saat memasuki kawasan Candi Kedulan, tetapi untuk wanita yang sedang datang bulan tidak diperkenankan turun ke candi. Tentang proses pemugaran Candi Kedulan sudah dituliskan oleh teman saya di artikel berikutini. 

Jejak Sejarah di Kotagede


Kawasan Kotagede memang bersejarah, bahkan di pasar kotagede pun ada monumen jumenengan Hamengku Buwono IX, bekas tugu listrik semasa pemerintahan kolonial dan sebuah monumen di barat pasar kotagede.

Selama ini aku hanya membeli sayuran saja di depan monumen jumenengan HB IX tersebut tanpa memperhatikan bahwa itu adalah monumen jumenengan. Teriknya sinar sang surya lengkap dengan kombinasi macet karena perbaikan saluran air tidak menyurutkan langkah para peserta jelajah untuk menuju kompleks masjid Agung Kotagede yang tidak jauh dari pasar.

Kawasan Masjid Gedhe Mataram dan Makam Para Raja

Penjelasan tentang Masjid Gedhe Mataram oleh narasumber. Dokpri
Penjelasan tentang Masjid Gedhe Mataram oleh narasumber. Dokpri
Kompleks masjid gedhe Mataram menjadi satu dengan kompleks makam raja-raja Mataram. Sejarah panjang Mataram Islam memang berawal dari Alas Mentaok yang terletak di wilayah Kotagede. Kawasan Masjid Gedhe Mataram memilki keunikan yaitu pagarnya mirip dengan gapura candi.

Di halaman masjid ada Wringin Sepuh (Beringin besar) yang usianya sudah ratusan tahun. Kemudian setelah memasuki gapura yang arsitekturnya mirip dengan arsitektur candi, ada pohon sawo kecil dengan pasir laut seperti di keraton Yogyakarta atau Surakarta, yang tentu semuanya memiliki makna.

Masjid Gedhe Mataram dibangun pada tahun 1640 semasa pemerintahan Sultan Agung dengan bergotong royong bersama masyarakat Kotagede yang kebanyakan masih beragama hindu budha. Kemudian pembangunan pada tahap kedua dilakukan oleh Sunan Paku Buwono X, makannya tidak heran jika di halaman masjid ada tugu jam bertuliskan PB X.

Renovasi terakhir masjid Gedhe Mataram sekitar tahun 1926 kemudian setelah itu masyarakat Kotagede bergotong royong untuk menjaga masjid Kotagede. Beranjak ke sebelah selatan masjid, akan menuju pemakaman raja-raja Mataram sebelum Sultan Agung membangun pemakaman Imogiri. Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati, Sultan Sepuh (Hamnegku Buwono II), Paku Alam I sampai Paku Alam IV dan beberapa kerabat Mataram Islam bersemayam di pemakaman ini.

Berfoto dengan tugu jam yang dibangun oleh Paku Buwono X. Dokpri
Berfoto dengan tugu jam yang dibangun oleh Paku Buwono X. Dokpri
Untuk melakukan ziarah ke makam raja-raja Mataram ini tentu ada tata tertibnya dan menggunakan pakaian khusus yang bisa disewa dari abdi dalem. Sementara itu aku tidak bisa memasuki Sendang Seliran karena sudah terlalu banyak orang yang masuk ke kompleks sendang seliran. Oh iya, fungsi sendang seliran untuk membersihkan diri setelah berziarah ke makam para raja.

Berfoto bersama mbak Dian di gapura menuju arah makam para raja. Dokpri
Berfoto bersama mbak Dian di gapura menuju arah makam para raja. Dokpri
Kotagede Banyak Menyimpan Cerita

Joglo yang menjadi bangunan warisan budaya. Dokpri
Joglo yang menjadi bangunan warisan budaya. Dokpri
Setelah mengunjungi kompleks Makam Raja-Raja Mataram, kami berkunjung ke kampung Alun-Alun yang memiliki bangunan joglo, yang masuk kategori warisan budaya. Selanjutnya peserta diajak melewati reruntuhan benteng Cepuri, yang merupakan benteng bagian dalam keraton Kotagede semasa Sultan Agung. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke Watu Gilang. Untuk Watu Gilang sudah pernah aku tuliskan di artikel berikut ini .

Reruntuhan Benteng Cepuri. Dokpri
Reruntuhan Benteng Cepuri. Dokpri
Kotagede banyak sekali menyimpan cerita termasuk di gangnya, seperti saat peserta diajak melewati gang yang kemudian bertemu dengan Omah Pesik dan Langgar Dhuwur. Omah Pesik merupakan milik owner jasa ekspedisi DHL yang kemudian dijadikan tempat penginapan dengan berbagai koleksi barang antiknya. 

Salah satu peserta sedang membaca tentang Langgar Dhuwur di depan bangunan itu sendiri. Dokpri
Salah satu peserta sedang membaca tentang Langgar Dhuwur di depan bangunan itu sendiri. Dokpri
Kemudian Langgar Dhuwur adalah tempat ibadah keluarga yang berada di loteng dan ditempatkan di paling barat kompleks rumah tradisional jawa. Untuk saat ini hanya tinggala da 2 langgar dhuwur, yaitu milik keluarga A. Cahris Zubair dan Alm. Danhal Anwar.


Ada hal yang membuat hatiku bahagia saat melintasi sebuah bangunan yang mirip bangunan indies (hanya saja versi kecil) terdapat papan bertuliskan Bangunan Warisan Budaya. Tulisan itu bertengger di bawah Ndalem Natan yang kini juga dibuka sebagai cafe dan toko buku.

Tujuan Jelajah Terakhir adalah Omah Kalang di dekat Ansor Silver

Omah Kalang yang mirip dengan bangunan indies tapi lebih kecil ukurannya. Dokpri
Omah Kalang yang mirip dengan bangunan indies tapi lebih kecil ukurannya. Dokpri
Menginjakkan kaki disini sungguh membuatku ingin memilikinya, walau tidak mungkin karena harga jual Omah Kalang pasti sangat mahal. Keindahan arsitektur jawa yang dipadukan dengan arsitektur indies masih terlihat jelas. Bahkan disini aku menemukan tegel dengan berbagai motif, bunker untuk menyimpan harta benda dan gabel-gabel kayu yang mirip gigi taring.

Omah Kalang ini dahulu milik saudagar kaya yang lebih dikenal dengan nama Pak Tembong. Beliau berasal dari Suku kalang Kotagede dengan kekayaan yang berlimpah sampai meninggalkan Omah Kalang untuk keturunannya semegah ini.

Berfoto di dalam Omah Kalang.dokpri
Berfoto di dalam Omah Kalang.dokpri
Sayangnya kekayaan saudagar ini surut karena sebagian hartanya diberikan kepada Keraton Yogyakarta untuk disumbangkan kepada pemerintah Indonesia saat ibukota pindah ke Jogja. Selain itu selama pasca kemerdekaan terjadi penjarahan di rumahnya sebanyak 2 kali.

Saat ini kepemilikan Omah Kalang banyak yang sudah berpindah tangan karena ahli warisnya menjual rumah tersebut dan suku Kalang sudah berbaur dengan masyarakat Kotagede.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun