"Anak saya yang pertama sudah mau lulus SMP. Dia sudah berkali-kali bilang ke saya, ibuk cerai aja sama bapak. Terus kita pindah aja ke Palembang. Kakaknya ibuk yang di Palembang kan punya usaha rumah makan. Ibuk kerja aja di sana. Kita bertiga pindah aja. Aku nggak tega ngeliat ibuk terus dimarahi bapak,"
Aku berusaha keras untuk tak meneteskan air mata. Takut ibu di sebelahku jadi sedih. Atau mungkin tersinggung jika aku memperlihatkan sikap kasihan padanya.
"Ini saya mau ke Blitar. Mau minta tolong Mas saya yang paling tua untuk membantu. Saya sudah nggak kuat sama kelakuan suami saya,"
Aku cuma bisa meresponnya dengan menghembuskan nafas panjang mendengar ceritanya.
Terdengar pengumuman dari speaker stasiun. Negosiasi tak berhasil. Pendemo akan menguasai jalan hingga Magrib nanti. Kereta akan kembali ke Surabaya. Bagi penumpang yang mau melanjutkan ke Blitar bisa memilih naik kereta Dhoho.
"Sepertinya kami akan naik yang Dhoho saja," gumam ibu itu.
Aku meresponnya dengan anggukan ringan dan senyum tipis. Tak lama kereta melaju kembali ke Surabaya.
Sebelum berpisah ibu itu meminta nomor teleponku. Tanpa pikir panjang aku kasih saja. Sewaktu aku mau turun di stasiun, tempat kami bertemu beberapa saat yang lalu itu, si ibu berkata padaku.
"Terima kasih sudah mau mendengar curhat saya mbak. Ngurangin beban hati saya ini. Lega rasanya. Aah, ini sungguh berkah buat saya, bisa punya tempat curhat begini,"
"Iya. Sama-sama, Bu. Saya pamit dulu ya, Bu. Assalamualaikum,"
"Waalaikum salam,"