"Pak Mahfud kemana Bu?" tanyaku pada Bu Berlian sambil selonjoran di karpet ruang tamunya. Punggungku bersandar di sofa. Kekenyangan ini membuatku malas melanjutkan aktivitasku beberapa saat yang lalu itu.
Aku sedang belajar sulam pita di rumahnya Bu Berlian. Kegiatan belajar menyulam terhenti gara-gara makan mie instan rebus.
Sarah, putri Bu Berlian, ingin makan mie instan rebus dengan potongan cabe. Bu Berlian membuatkannya. Sekalian untukku juga.
"Masih di masjid. Dari pagi tadi ada acara di sana," sahutnya.
Bu Berlian ikut menyelonjorkan kaki sambil menyandarkan punggung di sofa.
"Pak Mahfud asli mana sih Bu ?" tanyaku ke Bu Berlian. Sengaja membuat percakapan seperti ini buat ngisi waktu. Kalau dibiarkan diam lama-lama kantuk akan datang.
"Bojonegoro,"
Aku manggut-manggut mendengar jawaban itu.
"Enak kalau lebaran, mudiknya masih nggak terlalu jauh," selorohku sekenanya.
Bu Berlian tersenyum.
"Iya. Lumayan sih. Dibilang jauh nggak juga. Dibilang dekat buktinya masih makan waktu lebih dari 3 jam kalau dari sini," sahut Bu Berlian.
"Kenal sama bapak di mana Bu? Teman kerja ya?" tanyaku kembali asal-asalan.
Maklum aku baru saja menguap. Tanda-tanda kantuk mulai menyerang. Jadi aku harus sering bertanya agar tak tertidur.
"Teman kuliah. Satu angkatan. Tapi beda jurusan," jawab Bu Berlian lengkap.
Aku mengangguk paham sembari tersenyum.
"Saya tadi mengira kalau nggak teman kerja ya di ta'arufkan  gitu," kataku terus berusaha untuk berbicara.
Bu Berlian tersenyum lebar.
"Gitu ya? Tapi bukan nih. Teman kuliah kok,"
Aku menguap untuk kedua kalinya. Celaka ini kalau terus-terusan begini.
"Bu, maaf nih bertanya, dulu bagaimana ibu bisa yakin Pak Mahfud itu jodohnya ibu?" tanyaku sekenanya. Aku harus terus bicara agar tak menguap kembali.
"Semoga beliau tak tersinggung," pekikku dalam hati. Aku sudah nggak ngerti musti bertanya apalagi. Yang terlintas ya cuma itu. Akhirnya aku ucapkan saja daripada mikir lagi.
"Ngikuti nasehat ibu saya aja,"
Aku manggut-manggut. Tapi buru-buru tanganku menutup mulutku. Aku  menguap sekali lagi. Aku menatap Bu Berlian dengan mata berair karena menguap.
"Dulu ibu saya dan saya menonton wayang orang,"
"Oh, untunglah beliau melanjutkan ceritanya. Jadi aku nggak perlu membuat pertanyaan lagi," kataku dalam hati.
"Sewaktu menonton itu, suatu kali kelompok Pandawa dan Kurawa sedang berkumpul,"
Aku menatap Bu Berlian dengan susah payah menahan diri supaya tak menguap. Mataku sudah terasa berat untuk melek normal. Sudah separuh mata yang masih kebuka.
"Ibu saya menyuruh saya memperhatikan
saat kedua kelompok itu sedang mendengarkan petuah dari tetua,"
Aku masih menatap Bu Berlian dengan mata berair.
"Kamu lihat itu Pandawa, kalau ada orang tua bicara, Â lihat sikap mereka! Diam. Nunduk. Mendengarkan dengan baik. Mereka menyimak nasehat dari para sesepuhnya dengan baik," ujar Bu Berlian menirukan perkataan ibunya saat itu.
Aku memandang ke Bu Berlian masih dengan sorot mata menunggu kelanjutan ceritanya.
"Bandingkan dengan para Kurawa. Mereka kalau ada orang tua berbicara suka usreg aja badannya. Gerak terus. Matanya suka jelalatan kemana-mana. Sikapnya suka meremehkan orang yang sedang berbicara. Mereka emosionil banget wataknya," imbuh Bu Berlian.
"Iya itu benar," seruku dalam hati di tengah kantuk yang menderaku.
Ibuku juga suka wayang orang dan wayang kulit. Kalau televisi sedang menayangkan acara wayang orang atau wayang kulit, ibuku selalu menontonnya. Kadang aku ikutan menontonnya meski nggak sampai selesai. Â Dan seperti yang dikatakan Bu Berlian tadi, tokoh Kurawa memang begitu. Nggak bisa anteng. Nggak bisa diam menyimak perkataan para tetuanya.
"Kamu nanti kalau cari pasangan hidup itu kayak orang Pandawa. Nggak banyak tingkah. Sanggup mendengar perkataan orang dengan sabar. Menghormati orang yang lebih tua. Orang yang seperti itu yang cocok jadi pasangan hidup," lanjut Bu Berlian.
Aku mendengarkan perkataan Bu Berlian sembari menguap. Kantuk ini benar-benar ingin membuatku mengumpat saja. Harusnya aku tadi menolak saat ditawari dibuatkan mie instan rebus. Aku kan masih kenyang. Ini juga belum jamnya makan siang. Kalau sudah terserang kantuk akibat kekenyangan begini kan repot. Huuffftttt.
"Waktu saya kuliah, saya ikut kegiatan silat di kampus. Suami saya juga ikut kegiatan ini. Kami ketemu di kegiatan itu,"
Aku mengangguk mendengarnya seraya mengusap mataku yang berair akibat menguap tadi.
"Kalau pelatih memberi pengarahan, saya lihat, dia selalu duduk diam. Anteng menyimak. Nggak pernah celometan. Sejak melihatnya, saya langsung ingat pesan ibu saya. Hati saya bilang, itu calon suami saya. Dan alhamdulillah, Allah menakdirkannya jadi suami saya," ungkap Bu Berlian dengan senyuman lebar.
Aku ikut tersenyum lebar sambil menyandarkan kepalaku ke sofa. Sepertinya aku harus meminta izin pada Bu Berlian untuk memejamkan mata sejenak. Kantuk ini benar-benar sulit untuk dilawan.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H