Mohon tunggu...
Niken Anggraini
Niken Anggraini Mohon Tunggu... Wiraswasta - podcast: anchor.fm/saya-niken

Novel : Suweng Mbah Tukah (gratis di Fizzo), Numa Dan Benda Bertuah (gratis di Fizzo), Pangeran Gelatik (gratis di Fizzo), Dita dan Sena: Sang Penakluk (gratis di Fizzo), Berlabuh Di Sisimu (Kwikku), Oh My Beebu (Hinovel, Sago, Bakisah, Ceriaca), Diary Cinta Naelsa:Macaca (Hinovel, Bakisah, Ceriaca)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Suweng Mbah Tukah (2)

19 Mei 2022   13:12 Diperbarui: 19 Mei 2022   13:15 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Balekno Suwengku!
 
Panti Sosial Kasih Mulia - Blitar
Pukul 12.21 WIB
 
Terdengar pekik kesakitan dari seorang perempuan. Suasana langsung heboh. Seorang perempuan muda berteriak kesakitan karena daun telinganya ditarik dan diremas kasar oleh seorang perempuan tua bertubuh ringkih.


"Ampuuunnn Mbaaah. Tolong lepasin!"  


Perempuan muda itu meronta untuk melepaskan diri.


"Balekno suwengku!" atau "Kembalikan anting-antingku," begitu teriak perempuan renta itu. Matanya menatap garang. Mukanya terlihat marah tak sabar karena ingin melepaskan anting-anting yang dipakai perempuan muda itu.


"Aduuuuhhh sakit!!! Tolong!!"


Segera saja penghuni panti jompo merubung keduanya. Ada yang berusaha menarik perempuan renta itu. Ada pula yang menarik tubuh perempuan muda yang kesakitan tersebut.


"Kuwi suwengku! Ayo balekno!" ujarnya perempuan renta itu memerintah. Ia merasa anting-anting yang dipakai perempuan itu adalah miliknya. Itu sebabnya ia memerintah agar dikembalikan padanya.


"Bukan. Ini milik saya Mbah!"


"Ojo ngapusi. Dasar maling," teriaknya marah seraya berusaha merebut anting-anting yang dipakai perempuan muda itu.
Para penghuni panti yang melerai dengan memegangi badan perempuan renta itu merasa kuwalahan. Tenaganya begitu kuat untuk dikuasai. Sekali dia meronta pegangan orang-orang tua itu langsung lepas. Tenaga orang-orang sepuh itu meski berjumlah banyak masih kalah dibanding tenaga perempuan renta yang berteriak meminta suweng itu.


"Balekno suwengku!"bentaknya sekali lagi.


"Ini milikku Mbah!"


"Ora. Kuwi duwekku," (Tidak. Itu miliku)
Mata perempuan renta itu terlihat garang menatap marah ke arah perempuan muda.  
"Ada apa ini?" tanya Pak Bhakti yang datang tergopoh-gopoh bersama para staf pengurus panti lainnya.


"Ini Pak Bhak, Mbah Tukah mau merebut suwengnya Mbak ini!" jawab seorang ibu lansia yang mengenakan kaos polo warna ungu. Ia memegangi tangan Mbah Tukah sekuat mungkin agar tak lepas dan merangsek merebut lagi anting-anting yang dipakai oleh keluarga pengunjung yang sedang datang berkunjung saat itu.


"Kuwi suwengku. Nyapo mbok colong!" (Itu anting-antingku. Kenapa kamu curi!).


"Nggak Mbah. Saya nggak nyuri. Ini memang milik saya,"


"Halah ngapusi," (Halah bohong)


Terlihat Mbah Tukah meronta. Pegangan ibu berkaos ungu lepas. Tangan Mbah Tukah berhasil menarik daun telinga perempuan muda itu. Jerit kesakitan kembali terdengar.  


Pak Bhakti melerai. Ia mengamati wajah Mbah Tukah sambil melerai. Ia bergidik.
Wajah Mbah Tukah terlihat menakutkan. Matanya berkilat marah. Sorot mata marah ditambah kulit keriput yang kendur di sana sini plus deretan gigi hitam mampu menimbulkan kesan wajah angker. Tak terbayangkan bagaimana kejadian semalam. Pasti lebih menakutkan lagi. Rambut panjang warna putih mirip senar gitar itu terurai nyaris sepinggang. Mulutnya berteriak berisik tak jelas entah mengucapkan kata apa. Belum lagi ia berlompatan mirip monyet dalam kondisi tanpa busana. Peristiwa tengah malam yang lalu pasti lebih menakutkan dari yang sekarang ini.  


"Mbah Tukah, ayo ikut saya Mbah! Saya kasih suweng ya. Mau toh?!" bujuk Pak Bhakti.


"Halah ngapusi!"(Halah bohong)


"Mboten Mbah. Saestu niki," (Nggak Mbah. Beneran ini)


"Halah mengko mbok apusi," (Halah ntar kamu bohongi)


"Mboten Mbah," (Nggak Mbah)


"Kowe iki lanang, mosok duwe suweng,"(Kamu cowok, masak punya anting-anting)


"Gadah kok Mbah. Nopo tumbas mawon nggih!? Njenengan milih piyambak," (Punya kok Mbah. Apa beli aja. Mbah bisa milih sendiri)


Pak Bhakti terus membujuk agar Mbah Tukah mau melepaskan tangannya yang terus mencengkram daun telinga perempuan muda itu.


Jerit kesakitan meluncur dari mulut perempuan muda itu karena Mbah Tukah terlihat tak sabar ingin mengambil anting-antingnya.  Pak Bhakti membujuk sekali lagi. Ia tak tega mendengar jerit kesakitan si perempuan pemilik anting-anting tersebut.  


Mbah Tukah menyeringai ke arah Pak Bhakti. Mulutnya bergerak-gerak seperti monyet. Pak Bhakti langsung bergidik. Raut wajah Mbah Tukah terlihat menakutkan. Sorot matanya garang menatap Pak Bhakti.  Barisan gigi yang menghitam itu sepertinya siap menggigitnya sewaktu-waktu. Terlihat jelas  kemarahan di wajahnya.  


Tangan Mbah Tukah semakin kuat menarik anting-anting si perempuan. Teriakan nyaring langsung kembali terdengar.  


Tak ada jalan lain, harus segera ditolong perempuan muda ini. Begitu pikir Pak Bhakti. Ia bergerak maju untuk meraih tangan Mbah Tukah. Setelah tangan itu terpegang, ia berusaha membuka jari-jari tangan Mbah Tukah. Sekian detik waktu berlalu dalam usaha Pak Bhakti  untuk melepaskan tangan Mbah Tukah yang meremas si pemilik anting-anting. 

Ternyata tak mudah. Tangan Mbah Tukah entah bagaimana bisa sekuat itu.  
Mbah Tukah kesal karena aksinya merebut anting-anting dihalang-halangi Pak Bhakti. Ia pun langsung menyeringai. Sejurus dengan itu, ia mengarahkan mulutnya untuk menggigit. Dan terdengarlah suara Pak Bhakti melolong kesakitan. Suasana kembali heboh.  
 
Kebayoran Lama - Jakarta
Pukul 12.25 WIB
 
Utami menatap orang-orang yang memandangnya. Ia mendapati dirinya duduk di lantai dan bersandar di tembok. Ada beberapa rekan kerjanya yang sedang jongkok atau berlutut mengerubunginya.


"Tam....Tami....Lu baik-baik aja kan?" tanya Mas Deni. Wartawan kriminal tabloid Detak itu memandang Tami dengan wajah keheranan.


Utami tak langsung menjawab. Ia memandang sekelilingnya dengan keheranan.


"Apa yang terjadi?" tanyanya bingung.


"Justru itu yang mau gue tanyain. Lu barusan kenape?" ujar Mas Deni.


Utami kembali tak langsung menjawab. Sebagai gantinya ia berusaha bangkit dari duduknya. Terlihat ia sedikit terhuyung saat mencoba berdiri tegak.  


"Apa yang terjadi tadi?" ulangnya bertanya.


"Nggak ngerti," jawab Febrian.


Utami menatap bingung ke arah salah satu fotografer di tempatnya bekerja itu. 


"Lu tadi nglindur apa kesurupan sih? Bikin kaget aja! Tuh lihat, si Eno sama Yulia sampai kabur ke ruang resepsionis. Nasinya ditinggal begini aja!" sahut Mas Deni.


"Aku tadi kenapa Mas Den?" tanya Utami.


Wartawan senior itu tak langsung menjawab. Ia menghembuskan nafas panjang sejenak sebelum menjawab.


"Nggak ngerti juga. Kita tadi semua lagi makan siang di ruang pemasaran ini. Tiba-tiba lu bilang nggak nafsu makan. Mual. Serasa mau muntah. Habis itu lu pinggirin nasi lu. Trus lu naruh kepala di meja sambil bantalan tangan lu yang dilipat gitu,"


Utami diam menyimak. Terlihat ekspresi wajahnya penasaran menunggu kelanjutan cerita yang disampaikan Mas Deni itu.


"Lima menit nggak ada suara. Lu diam aja. Habis itu lu ngedongak sambil melotot. Trus teriak kenceng banget. Habis itu jongkok di kursi. Menyeringai kayak monyet sambil jelalatan kiri kanan. Setelah itu melompat ke meja sambil ngoceh-ngoceh nggak jelas,"


"HAAAHHHHHHH????!!!!"


Utami hanya bisa berteriak kaget seperti itu sambil menatap Mas Deni dengan mata membesar.  


"Serius?"


"Ya iya. Tuh tanya aja sama yang lainnya! Semua liat keanehan lu. Kenape sih lu tadi?"


Utami menggelengkan kepalanya.


"Aku ngoceh apa tadi?"


"Nggak ngerti. Kamu ngomong pakai bahasa Jawa. Kita yang di sini nggak ada yang paham bahasa Jawa," ujar Zaki, wartawan rubrik hiburan yang memberi jawaban.


"Ada yang ngerekam nggak?"


"Hadeeeeeehhh....ya nggaklah. Kita semua lagi asyik makan. Nggak ada yang pegang hape," sahut Mas Deni.


"Terus aku bisa sadarnya gimana?"


Yang ada di situ saling melirik berpandangan sejenak sebelum menjawab.


"Tadi kamu lompat-lompat di meja sambil teriak-teriak ngoceh nggak jelas gitu. Terus tiba-tiba lemas ambruk. Untungnya kami sempat memegangimu. Jadi kamu nggak sampai jatuh terjungkal dari meja ke lantai. Trus kita sandarin kamu ke tembok kayak tadi itu," jelas Hendra.


Hanya ekspresi kebingungan yang tampak di wajah Utami mendengar penjelasan rekan-rekannya itu.  
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun