Kalimat tanya itu menjadi familiar kaudengar.
Tak hanya sekali dua kali, tapi dia bertanya padamu dengan pilihan kata tanya yang serupa.
Hampir disetiap pertemuan kalian yang terencana dan yang tak terencana.
Seperti meminta penjelasan yang sangat argumentatif sebagai pertanggungjawaban atas keraguanmu atas cintamu sendiri padanya.
***
"Aku tak bisa mencintaimu sepenuh hatiku, seratus persen"
Tentu adakalanya dia bukanlah satu-satunya manusia yang menjadi perihal utama dalam hidupmu.
Dan kamu menjelaskan sangat perlahan.
Seperti menelan nasi dengan tiga-puluh-tiga-kali kunyahan.
Sangat perlahan. Sampai halus sampai pada usus.
"Aku bahkan mustahil mencintaimu seratus persen"
Kamu menambahkan dengan suaramu yang makin perlahan.
Makin pelan. Sampai akhirnya diam.
Suasana hening dan semua diam.
Angin kembali berembus kencang dan rambutmu juga kembali menari-nari diatas titik-titik air yang jatuh diantara hidung dan lengkungan mata:
Matamu dan mataku.
***
"Mengapa?"
Lagi-lagi,
mungkin penjelasanku kurang masuk akal.
Atau saja masuk akal namun terasa tak masuk akal?
***
"...
Kamu mungkin mencintaiku dengan perasaan yang begitu besar.
Melebihi cintamu terhadap sesuatu apa pun di dunia ini.
Melebihi besarnya bentuk dunia yang menjadi beban Atlas yang memanggulnya.
Melebihi yang lain.