Oleh Nihaqus Yuhamus
Angin yang berhembus kencang malam itu membuat rambutmu yang hitam pekat menari-nari.
Mereka menari-nari di atas bayang-bayang tubuhmu yang semakin malam semakin kelam.
Berbeda ketika mentari menyapa, saat semakin lama semakin siang, semakin panjang bayangmu memanjang.
Ada satu dua titik embun yang menitik juga di balik kacamatamu.
Udara begitu tipis disana, setipis gelombang-gelombang cahaya yang dapat diserap mata.
Sementara dia diujung sana, di tempat dimana ia berada, sedang memikirkanmu.
Lalu dalam hati ia bertanya:
"Apakah kau mencintaiku, seperti aku mencintaimu?"
Lalu.
Titik-titik dalam kacamatamu bertambah, tak hanya satu atau dua.
Kamu terlalu sibuk menyeka-nyeka air pada matamu, sambil membenarkan lagi letak kacamatamu.
Bergumam kau, seperti suaramu yang ditelan malam.
"Aku takut aku tidak bisa mencintaimu seperti kau mencintaiku"
***
Yang punya airmata tentu saja bukan kamu.
Airmata takutmu berpadu dengan airmata kecewanya.
Tentu itu bukan jawaban yang sangat diinginkannya.
Lebih baik ia dengar kata-kata bohong yang terkesan bijaksana daripada harus mendengar ketakutanmu yang penuh ragu tapi sangat jujur terasa.
***
"Mengapa?"